PERPISAHAN
Oleh : Royhanatul Fauziah
Setiap kali aku melewati dermaga itu, aku selalu teringat
pada wajahmu yang selalu berpeluh, juga pada bau matahari yang menempel di
tubuhmu, atau pada rambut panjangmu yang tergerai, tersibak angin selatan.
Di dermaga itu kau meninggalkanku dengan senyum paling pasi.
Kau begitu lucu ketika tersenyum, bahkan ketika menangispun wajahmu selalu
menyisakan kelucuan. Wajahmu, semburat bulan purnama. Matamu sayu, samar-samar
kulihat air mata
menetes di pipimu yang bulat.
Kenapa kau menangisi kepergianmu sendiri? Harusnya aku yang
lebih pantas menangis. Menangisimu, karena aku yang kehilanganmu.
Tapi aku masih mampu menahan gerimis di mataku. Aku tak
mengerti, apalah arti air mata jika kepergian menjadi sebuah pilihan yang tak
mampu kau halangi, meski dengan setumpuk kenangan manis, kau tetap tak bisa
menahannya tinggal meski dengan sejuta alasan. Jika dia ingin pergi, maka dia
akan pergi. Dan kau hanya bisa terdiam, membiarkannya pergi sambil tak tahu
harus berbuat apa.
Haruskah kulambaikan tangan untuk sebuah kepergian? Lambaian
tangan adalah ucapan selamat tinggal dengan bahasa yang lain. Jangan, jangan
ucapkan selamat tinggal. Jangan lambaikan tanganmu karena aku tak sanggup
membalasnya.
Cahaya matahari senja memantul ke arahku lewat riak air di
laut. Cahaya keemasan itu membangunkanku dari lamunan masa lalu.
Ah, dermaga itu kini hanya tinggap kapal-kapal yang sepi.
Sepi? Itulah yang kini kurasakan. Adakah kau merasakan kesepian yang sama
disana? Atau kau sedang menikmati senja dengan kekasihmu yang baru? Entahlah,
yang pasti saat ini aku menikmati kesepianku.
Sejak enam tahun kepergianmu, laut seperti hamparan buku
harian yang kosong. Apa yang hendak kutulis, jika segala kalimat-kalimat indah
ada padamu dan kau membawa pergi kalimat-kalimat indah itu. Laut hanya
menyisakan kebiruan, kebiruan yang selalu mengingatkanku pada biru matamu.
Aku tak pernah tahu alasan kepergianmu. Mungkin kau ingin
memperbaiki hidupmu dengan bekerja di sebrang sana, mungkin kau bosan berada di
desa ini bersamaku, atau mungkin kau pergi karena diusir para tetangga karena
kau terlalu cantik untuk seorang gadis desa. Ah, mengapa kau merahasiakan
alasan kepergianmu?
Aku membutuhkan alasan untuk sebuah kepergian, tetapi kau
tak pernah mengucapkannya. Apakah kau akan pergi dengan laki-laki lain? Aku tak
pernah tahu.
“Kuharap kau mau
menerima kepergianku meninggalkan desa ini” Itulah kalimat terakhir yang kau ucapkan
ketika kita duduk berdua di bawah pohon kelapa yang sudah kering. Kau
mengucapkannya sembari tersenyum. Aku tahu, itu bukan senyummu yang paling
tulus.
Aku tak berani bertanya “kenapa”, karena matamu terlanjur
berkaca-kaca. Aku takut membuatmu menangis.
Dan aku tak berani menatap matamu lebih dalam.
Aku mengantarmu ke dermaga itu. Dermaga adalah tempat dimana
segala pertemuan dan perpisahan bisa terjadi. Seperti perpisahan kita. Kubiarkan
badan kapal mengayunkan tubuhmu hingga jauh dan menjauh. Aku masih berdiri
memandangi kapal yang kau tumpangi. Tubuhmu perlahan menghilang dibalik cahaya
senja, menjadi sebuah siluet. Dan aku yakin saat itu kita telah berpisah, pada
senja yang sendu.
Aku tak menangis waktu itu, tapi entahlah. Yang pasti saat
itu aku merasa sangat sedih. Atau karena kesedihanku, aku tak menyadari kalau
aku sedang menangis.
Tetapi, setiap kali aku merindukanmu, aku selalu menyadari
bahwa kristal-kristal sering berjatuhan dari mataku, membasahi bantal tidurku
yang lapuk, membasahi mimpi burukku pada malam-malam yang sunyi. Membuat mataku
sembab di pagi hari dan ditertawakan embun dini hari karena aku laki-laki.
Apakah laki-laki tak boleh menangisi kerinduan yang tak pernah sampai? Apakah
laki-laki tak boleh menangisi kenangan? Apakah kau sedang menangis, seperti
saat kau menangis pada senja yang sendu?
Pernah suatu hari kau kembali dengan gincu di bibirmu, juga
baju yang berwarna merah terang, kau kembali dengan rambut sebahu, aku tak
peduli kemana rambutmu yang dulu sepinggang itu,. Aku hanya peduli padamu yang
waktu itu telah kembali. Tapi kau begitu lain, seperti bukan kau. Kau yang
kukenal dulu begitu sangat sederhana dan anggun.
Kau masih berdiri di depan perahu yang tadi kau tumpangi.
Aku hanya menatapmu sambil berdiri di lidah pantai. Kaupun menatapku dengan
tatapan heran. Aku terdiam, barangkali kau sudah tak mengenaliku.
Tiba-tiba dari belakang seorang lelaki menuntun seorang anak
perempuan berusia lima tahun dan mereka memanggilmu “Mama”. Sambil tertawa
riang, kau menyambutnya dengan pelukan hangat. Pelukan yang selalu kurindukan
selama enam tahun perpisahan kita. Kau telah kembali dengan cinta yang lain.
Dulu kau meninggalkanku untuk sebuah perpisahan. Dan
sekarang mengapa kau harus kembali, untuk sebuah perpisahan yang lebih
menyakitkan?
Seperti yang pernah kukatakan, Dermaga adalah tempat dimana
segala pertemuan dan perpisahan bisa terjadi. Seperti pertemuan dan perpisahan kita.