Oleh : Royhanatul Fauziah
Aku bukan penyair. Hanya saja, aku pernah mencintai seorang penyair. Dia pergi, tapi tidak puisi-puisinya. Maka aku ingin selalu berpuisi, untuk menemuinya dalam kata,
atau sekedar membuatnya terasa ada.
Garut, 31.10.15
Angin; Hanya ingin berbicara tetapi selalu luput dalam kata-kata. Dingin menjadi isyarat.
Oleh : Royhanatul Fauziah
Aku bukan penyair. Hanya saja, aku pernah mencintai seorang penyair. Dia pergi, tapi tidak puisi-puisinya. Maka aku ingin selalu berpuisi, untuk menemuinya dalam kata,
atau sekedar membuatnya terasa ada.
Garut, 31.10.15
Oleh : Royhanatul Fauziah
Biarkan hening, seperti malam-malam kita sebelumnya. Tidak ada lagi yang perlu dikekalkan, termasuk luka yang kita simpan diam-diam. Bukankah itu cara kita, untuk bisa saling melupakan?
31.10.15
Jikapun masih ada doa yang layak untuk kita, maka berdoa saja. Temui aku, pada setiap doa malammu. Sebab kita tak pernah tahu, pada takdir mana lagi cinta akan bertemu.
Oleh : Royhanatul Fauziah
Jika kita tak bisa menjadi ombak untuk mengerti bahasa laut, atau setegar karang untuk menahan gelombang, maka berlayar saja, sebab kita hanya perahu, yang tak tahu, kapan karam menjemput kita.
Garut, 24.10.15
Bagiku, cinta tak pernah pergi, tak pernah menyakiti.
Ketika sesuatu memaksanya untuk menyakiti, ia menahannya. Seperti halnya rumah, kau tak akan membiarkan tamu asing masuk, dan mengobrak abrik seluruh isi rumah, semisal kenangan kita.
Atau setidaknya, ketika sesuatu memaksanya untuk pergi, ia pergi dengan sebaik-baik cara.
Apa artinya sebuah ikatan atau tanpa ikatan, jika pada akhirnya memisahkan?
Lalu, apa yang baik dari sebuah perpisahan yang tanpa kabar?
Bukankah lebih baik jika kita tidak pernah terikat saja?
Mungkin kamu tidak punya alasan kenapa kamu mencintai aku, sebab katamu, cinta tidak butuh alasan. Tapi mungkin, kamu punya banyak alasan kenapa kamu (selalu) meninggalkan aku.
Jangan pernah kembali. Sebab ketika kamu kembali, barangkali aku sudah menjadi orang lain, yang tak lagi kamu kenal. Begitu juga kamu, yang akan menjadi orang lain ku.
"Tapi kita masih sepasang", katamu.
Tidak, kita tidak lagi menjadi sepasang.
Kau melangkah sejuta jarak dan jejak. Meninggalkan aku dan bertualang sendiri, tanpa kabar, atau sepenggal sajak.
Bukan hanya kemarin, tapi dulu, dan saat itu, kau meninggalkanku berkali-kali, berkali-kali.
Sedang aku disini, menunggumu dengan seribu tanda tanya, menyisir hari dan sunyi, yang kusut, yang kalut.
Bukankah kau tidak pernah bertanya, bagaimana kabar kenangan, yang selalu kujaga baik-baik, dalam seribu album, dalam sepasi ingatan yang luka. Atau bertanya, bagaimana kabar rindu, kabar perempuan yang diam-diam menangis menjelang tidurnya. Atau kabar seorang ibu dan ayah yang murung, melihat anak perempuannya ditinggalkan nasib.
Tidak. Kau tidak pernah bertanya. Sebab kau selalu merasa bahwa kenangan itu tidak ada, bahwa rindu itu hanya sekumpulan luka.
Aku tidak sedang memintamu untuk kembali padaku, atau pada kenangan.
Aku hanya memintamu untuk memilih, melepas tali, atau mempererat ikatannya? Seperti sebuah kepastian.
Jika kau ingin melepaskan, maka lepaskan. Jangan jerat aku dengan ikatan itu.
Jika kau ingin mempererat, maka mendekatlah, karena aku sudah kehabisan cara, simpul mana lagi yang mampu memperkuat tali kita.
Ikatan itu, bukan hanya tentang janji. Bukan hanya tentang kita. Apalagi sekedar kata.
Ikatan adalah kenyataan, untukku, saat kau dan aku merasa segalanya akan dikekalkan.
Namun ketika kau memilih pergi, aku sadar, tidak pernah ada yang kekal, segalanya akan tiada, segalanya akan kembali sepi, begitu juga cinta kita.
Aku tidak ingin pergi, tapi aku juga tidak ingin bertahan, sebab yang tersisa dari hidupku hanya perasaan kehilangan. Terlebih, kau selalu berkata, bahwa kau tak pernah merasa meninggalkan siapapun dan apapun, tapi nyatanya, kau tidak pernah ada, dalam kenyataan, atau bahkan dalam bayang-bayang. Tidak, kamu tidak pernah ada.
Aku membaca hujan
Membaca puisi
Membaca hari dan sunyi
Membacamu,
Membaca semua milikmu, dan
Segala yang bukan milikku...
Biarkan aku sebentar saja.
Sebab aku hanya tamu asing, yang ingin menyaksikan ombak dalam ingatan.
Kemudian aku akan kembali pada bilangan kesepian, seperti katamu. Selepas kepergian, setelah perpisahan itu.
Kini aku hanya tamu asing.
Kau hanya tamu asing.
Maka, kita tidak perlu merasa kehilangan.
Seperti pasir kepada ombak, yang selalu membiarkan ombak pergi, sejauh yang ia mau.
Dalam Film STAND BY ME "DORAEMON"
Oleh : Royhanatul Fauziah
Kamu lihat, ketika Doraemon akan pergi, dan Nobita memaksa Doraemon untuk tetap tinggal tapi tidak bisa. Ia bersedih dan menangis sejadi-jadinya. Mungkin seperti itulah aku, ketika kamu tinggalkan. Tetapi Nobita beruntung karena Doraemon tidak jadi pergi. Sedangkan aku, aku masih sebatas penyendiri, menanti sampai aku lupa, bahwa kamu sudah tidak disini dan tidak akan pernah kembali lagi.
Aku menyukai langit senja. Ia seperti lembar penutup sebuah catatan bisu.
Mungkin warnanya tidak sebiru langitmu yang menenangkan.
Tetapi lihatlah warna senja, kau akan menemukan waktu yang berlari,
Dan kita seumpama dua titik yang menyaksikan perpindahan itu.
Waktu dimana petang beranjak menjadi malam.
Dan malam bukan lagi cerita kelam,
meski terkadang menyisakan sebuah perpisahan.
Tapi kau tahu, di bawah langit senja itu,
Aku menemukan cerita untuk menutup hari, seperti sebuah percakapan,
ketika semua menjadi sunyi,
ketika semua telah beranjak pergi.
Untuk mencintaimu, aku yakin, tidak
ada perempuan yang setabah aku.
Kamu, tetaplah menjadi kenyataan
Jangan mendekat diam-diam, sebab aku tidak ingin sekedar bayang
Jangan melukaiku dengan kata, sebab aku tak mampu lagi membacamu
Jangan melukaiku dengan rindu, jika kau hanya membisu
Tapi aku tidak pergi
Hanya saja, aku ingin sendiri
Dan aku masih disini, menulis sajak-sajak sepi
090915
CATATAN ANGIN Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review