Minggu, 29 Juni 2014

SEPUCUK CERITA TENTANG KEPULANGAN

Diposting oleh Catatan Angin di 04.00 2 komentar
SEPUCUK CERITA TENTANG KEPULANGAN
Oleh : Royhanatul Fauziah

Hatiku adalah rumah, tempat dimana kau akan selalu pulang.
Meskipun kau pernah meninggalkan rumahku untuk pergi ke rumah yang lain, yang katanya tak lebih indah dari rumahku.

Apakah kau tidak bahagia disana? Apakah kau kesepian?

Aku mengerti kesepianmu. Kesepian yang kau rasakan saat berada di rumah itu. Kamu berdua, tetapi kamu merasa sepi dengannya. Mungkin kau menyesal.

Kudengar kau selalu mengingatku disana, benarkah? Akupun selalu mengingatmu disini. Di rumah ini. Meskipun sakit dan sendirian.

Tetapi aku selalu ingat, cinta tidak akan pernah membuat kita merasa sendirian dan ditinggalkan.

Mungkin selain cinta, kenangan adalah satu-satunya hal yang tidak pernah membuat kita bisa saling melupakan, atau meninggalkan.

Seandainya aku bisa membaca hatimu, mungkin aku tak perlu menangis saat kau mencoba untuk mencintai wanita lain. Nyatanya, hari ini kau kembali untuk mencintaiku lagi.

Seandainya aku bisa meramal masa depan, aku tak perlu takut dan bersedih karena kepergianmu waktu itu. Nyatanya, hari ini kau ada disini, di sampingku.

Ah, cinta. Siapa yang mampu menolak kehadirannya, bahkan ketika hati telah dilukai?

Barangkali, karena kita telah sepakat, untuk tidak pernah merasa kehilangan sebab cinta akan selalu membawa kita pulang dan kembali ke rumah kita yang tak pernah mengenal kata perpisahan.

Seorang penyair pernah berkata, siapa yang pergi terlalu jauh, maka ia akan kesulitan untuk kembali. *EM

Sayang, apakah kau pergi terlalu jauh, hingga aku merasa kesulitan untuk menerimamu kembali?

Lihat hatiku, berdebu dan kesepian. Terluka dan sendiri.

Maafkan aku, jika aku masih mengingat luka.

Tetapi yakinlah, rumahku masih seperti dulu. Rumah yang dihiasi bunga-bunga, rumah yang dipenuhi sajak, rumah yang dialiri do’a, juga kenangan. Kita hanya perlu menyeka debu, lalu menutup luka itu bersama-sama.

Cinta yang membuatmu pergi, cinta pulalah yang membuatmu kembali.

Minggu, 22 Juni 2014

APAKAH KAU PERNAH MERINDUKANKU?

Diposting oleh Catatan Angin di 06.26 0 komentar
Apakah kau pernah merindukanku?

Setiap pagi tiba, selalu kulihat mendung yang menghitung
Entah sudah berapa ucapan selamat pagi yang kita lewatkan

Dan hidup seketika menjelma sepi yang tak pernah mau lenggang

Jantung ini, sayang
Tanpamu jantung ini tak kehilangan apapun, kecuali
Debar yang kau bawa pergi

Februari 2014

KEKASIH

Diposting oleh Catatan Angin di 06.16 0 komentar
Oleh : Royhanatul Fauziah

kekasih,
sunyi ini mengantarkan rindu
sebab hatiku masih sibuk merasakan debar yang kau sisakan malam tadi
aku ingin mengulangnya kembali
saat kau duduk diantara deretan lampu taman
aku disampingmu, menikmati setiap genggaman yang kau  eratkan di jemariku
bintang-bintang berpendaran, kota menjelma puisi
dan aku mencintaimu


Rabu, 04 Juni 2014

EPISODE LUKA

Diposting oleh Catatan Angin di 06.21 0 komentar
EPISODE LUKA 1
Dimana luka itu
Aku ingin menggenggamnya sebelum merambat
Ke sudut hatiku yang masih tersisa setitik senyum
Tapi luka itu
Seperti udara yang  yang menyelimuti nafas
Aku membutuhkan nafas itu, tapi kemana aku harus berlari
Bersembunyi dari luka yang telah membaur bersama udara di nafasku
Ke hatimukah?
Tidak, hatimu terlalu hampa untuk ku singgahi
Dan aku tak mau mati di dalamnya


EPISODE LUKA 2
Selain luka, adakah rindu yang masih tersisa
Untuk kunikmati nanti saat aku pergi
Meninggalkan rumah kita yang lama tak kau singgahi
Juga kota yang lama merekam sejarah kita
Di sepanjang trotoar jalan itu
Selain luka, adakah cinta yang mungkin masih tersisa?


EPISODE LUKA 3
karena kau telah melukaiku
maka aku akan mencintai luka itu
karena kau telah melukaiku
maka aku akan menjaga luka itu
karena kau telah melukaiku
maka jiwaku akan menyatu bersama luka itu
karena kau telah melukaiku
maka aku akan menjadi luka itu

Juni 2013


Senin, 02 Juni 2014

FIRASAT

Diposting oleh Catatan Angin di 12.14 0 komentar
Bukankah selalu ada seseorang yang tak bisa kita kejar, meskipun ia tak berlari, hanya pergi dengan perlahan?
Bukankah ada seseorang  yang tak bisa kita tahan, meskipun ia berkata; aku tak berniat melepaskan.

Mataku hanyalah ruang sempit, tak mampu melihat sesuatu yang kau sembunyikan di balik pandanganku.
Tapi kau lupa, aku memiliki hati, ruang tak terbatas untuk merasa.
Apa yang sedang kau sembunyikan dari balik pandangan, tak akan pernah luput dalam hatiku.

Ialah Firasat
Rasa yang tak pernah salah
Rasa yang hanya dimiliki oleh seseorang yang mencintai.

Dan, engkaulah firasat hati


***

FIRASAT - MARCELL

Kemarin, kulihat awan membentuk wajahmu
Desau angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku
Semalam, bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu
Akupun sadari, kusegera berlari

Cepat pulang, cepat kembali
Jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali
Jangan pergi lagi

Akhirnya, bagai sungai yang mendamba samudera
Kutahu pasti kemana kan ku bermuara
Semoga ada waktu
Sayangku, kupercaya alam pun berbahasa
Ada makna di balik semua pertanda
 
Firasat ini
Rasa rindukah ataukah tanda bahaya?
Aku tak peduli, ku terus berlari

Cepat pulang, cepat kembali
Jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali, jangan pergi lagi

Dan lihatlah, sayang
Hujan turun membasahi
Seolah ku berair mata

Cepat pulang, cepat kembali
Jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali
Jangan pergi lagi

Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Pulang.....

Akupun sadari, engkaulah firasat hati

***

Hidup adalah ketakutan, atas rindu; padahal ia adalah kesepian yang datang perlahan tanpa kita sadari.
Hidup adalah kehilangan, atas cinta yang tak selalu berakhir bahagia; kepergian yang tak pernah kita mengerti kausalnya.
Hidup adalah kecemasan, teka teki yang barangkali tak pernah kita temukan jawabannya

Minggu, 01 Juni 2014

CERPEN - KARMA

Diposting oleh Catatan Angin di 01.23 0 komentar


KARMA
Oleh : Royhanatul Fauziah

Jujur saja, malam ini aku seperti ditikam kenangan. Entah kenapa tiba-tiba saja aku teringat wajahmu, bersemayam di otakku. Begitu anggun dengan balutan busana berwarna biru tua, seperti warna langit pada bulan purnama. Bulan purnama yang selalu mengingatkanku pada wajah-wajah masa lalu yang jauh.

Bayanganmu seperti berkelebat, tanganmu seolah melambai ke arahku, memintaku untuk mendekatimu. Tetapi tak mampu kuraih. Kau dimana? Aku tak pernah tahu. Kuingat semua kenangan kita dulu, seringkali kau megajakku kesana kemari, seakan semua tempat sudah kita kunjungi. Aku jadi teringat dulu kita pernah mengunjungi kebun binatang, dan kau ingin berfoto di dekat kandang monyet, sambil meledekmu mirip monyet tersebut, kita tertaawa bersama-sama. Haha, tetapi siapa yang mampu mengembalikan kenangan?

Langit sudah mengatupkan cahaya, gelap diluar, tetapi tidak disini, di kamar ini. Kulihat langit-langit atap kamar, tak ada apapun, bahkan cicak yang biasanya lewatpun tak ada.. Hanya ada secercah cahaya neon yang remang, lama tak kuganti.
Angin menderu diluar jendela, seperti mengintip dari balik gorden. Hy, apakah kau datang bersama angin malam?

Aku kesepian.

Jam sudah menunjukan pukul dua pagi, atau malam? Entahlah, Kusebut ini dini hari. Bagiku  antara malam dan pagi tak ada bedanya, sama-sama menyimpan kebisuan yang pekat, yang aku tahu, antara keduanya hanya dipisahkan oleh lenguh adzan subuh.
Aku mencoba untuk tertidur. Kurapatkan selimut kemudian memejamkan mata, tetapi percuma. Dalam gelap pejaman mata, aku seperti melihat kamu sedang tersenyum entah dimana, aku tak peduli. Aku hanya ingin menghentikan ingatan tentang kamu malam ini. Kucoba memejamkan mata kembali, terpejam sepejam-pejamnya, tetapi sia-sia. Wajahmu semakin mendekat ke arahku. Aku seperti sedang jatuh cinta saja malam ini, jatuh cinta pada kenangan.

Aku bangkit dari tempat tidurku. Kunyalakan komputer di meja kerjaku. Aku ingin menulis sesuatu agar lamunan ini tidak sia-sia. Aku ingin menuliskan kenangan. Menulis tentangmu. Microsoftword sudah tertancap dilayarku, tetapi apa yang hendak aku tulis? Kata-kata seperti berebut berhamburan keluar dari otakku. Semua kata seolah meninggalkanku, semuanya kosong, dan hanya tertinggal satu kata; namamu.
Aku kembali melamun.
“Ngga  tidur, Pah? Udah jam 3 loh..”
Suara itu membangunkanku dari lamunan panjang. Ya, itu suara istriku.
“Eh, ngga.. emm, belum..”
Istriku lalu menggeser tubuhnya sedikit ke samping ranjang, lalu memberi isyarat untukku agar aku tidur di sampingnya. Kubiarkan komputer itu tetap menyala, akupun berbaring di sampingnya, kemudian ia memelukku. Pelukan ini. Ya, pelukan ini. Aku suka pelukannya. Hangat dan membuatku merasa nyaman.

Pelukannya masih sama dengan pelukan saat aku dan istriku berkencan dulu, di sebuah danau yang dikelilingi tanaman hijau. Ikan-ikan berenang, sesekali mereka meloncat ke udara lalu tenggelam lagi, menimbulkan suara yang berkecipak riak, teratai menggelombang. Aku mengenalnya pertama kali di sebuah pesta pernikahan seorang teman, kulihat ia seperti perempuan yang berusia belasan tahun, padahal ia sudah 20 tahun, empat tahun lebih muda daripada aku. Tubuhnya mungil, dia istri yang tidak cantik, tetapi wajahnya manis dan menarik. Aku suka sekali mencubit pipinya saat ia tersenyum. Dan senyumnya yang membuat aku jatuh cinta.

Tetapi malam ini. Ya, malam ini dan bayangan itu, masih mengganggu pikiranku. Aku merasa berdosa dalam pelukan istriku, aku malah mengingat wanita lain, dialah mantan kekasihku. Ah memang, tak ada yang mampu menahan ingatan tentang masalalu  jika ia datang bertandang ke otak. Semua seakan terekam begitu saja. Dan tak mampu kuhentikan.
Udara mengembun di dedaunan, pagi terasa sunyi, cahaya matahari menyelinap lewat kaca jendela.

Istriku sudah bersiap-siap untuk berangkat mengajar. Ia seorang guru SD. Belum lama ia mengajar disana, baru tiga bulan yang lalu. Ia tak terlalu sibuk. Hanya mengajar tiga hari saja. Senin, Rabu, dan Sabtu. Menurutku, sifatnya yang tidak ceria dan cenderung pendiam tidak cocok sebagai seorang guru SD, tetapi karakternya yang lembut rasanya berada di tengah anak-anak memang cocok untuknya. Tapi entahlah, aku tidak pernah tahu bagaimana dia saat bersama anak-anak. Aku tak pernah melihatnya mengajar, atau menengoknya ke sekolah.
“Aku berangkat ya!”  Istriku pamit, sambil mencium tanganku.

Ah, saat seperti ini yang membuat aku merasa dicintai.
Rumah yang sepi dan memang selalu sepi. Semua cahaya lampu telah padam, hanya ada cahaya matahari kekuningan dan lampu yang menyala dari layar komputer yang semalam tak kumatikan. Aku ngantuk sekali, semalam aku sengaja tidak tidur, aku takut kalau aku tidur tiba-tiba aku mengigau nama mantan kekasihku dulu. Ya, mengingat seseorang sebelum tidur katanya dapat membuat seseorang itu masuk ke mimpi kita, atau bahkan membuat kita menyebut namanya dalam tidur.

Tiba-tiba suara handphone berdering, membuat aku terperanjat karena hendak terlelap.
Sebuah pesan singkat.
“Hai, apa kabar? Lama tak bertemu, masih ingat aku? Aku Arini.”
Aku terdiam, heran dan tak percaya. Entah ini sebuah kebetulan atau ketidaksengajaan aku tidak tahu.
Hah, Arini? Nama itu, nama yang semalaman tadi mengganggu pikiranku. Dalam ketidakpercayaanku, aku membalas pesannya.

>>> 

Dan Arini mendatangi rumahku. Aku menikmati pertemuan ini. Aku tidak begitu khawatir akan ketahuan istriku, karena aku tahu jadwalnya pulang mengajar. Ia selalu pulang pada jam yang sama, pukul dua belas siang.
“Kau masih menulis?” Arini memulai percakapan.
“Ya. Aku masih bercita-cita menjadi seorang penulis”
Memang itulah pekerjaanku, aku menghidupi istriku dari menulis puisi, cerpen atau essai yang aku kirim ke media.

Aku mengobrol banyak dengan Arini. Rasanya aku seperti kembali pada kenangaku dulu bersamanya. Ia tak banyak berubah, wajahnya biasa saja tapi terlihat lebih dewasa dengan kacamata yang dikenakannya.
Aku menceritakan kejadian semalam kepada arini, tentang ingatan masa lalu yang tiba-tiba muncul.
“Katanya, jika kita mengingat seseorang, berarti seseorang itu sedang mengingat kita juga” . Arini berbicara selayaknya orang yang sedang merindukan seseorang.
“Apa itu berarti semalam kau sedang mengingatku juga, Arini?”
“Mungkin.” Arini menjawab singkat.
“Lalu apa yang membuatmu mencariku lagi, setelah perpisahan kita beberapa tahun silam?”
“Kenangan.” Jawabnya singkat lagi.

Ah, masa lalu rupanya dapat mengantarkan kita pada kenangan, dan betapa kenangan itulah yang membuatku mengkhianati istriku.

Rumah semakin sepi, tak ada suara tv, suara riuh para tetangga atau percakapan lagi. Pertemuan kami berlanjut di tempat tidur, entah siapa yang memulai aku tidak peduli.
Kenangan. Ya, kenangan. Siapa yang mampu menolak kenangan? Ketika ia datang, terbayanglah semua hal indah yang pernah dilalui. Membuat aku melupakan diriku sendiri bahwa aku sudah memiliki istri.
“Sudah pukul sepuluh, kau harus pulang sebelum istriku pulang. Istriku akan pulang pukul duabelas.”
Arini langsung beringsutan, rambutnya yang acak-acakan ia rapikan. Cepat-cepat aku membereskan tempat tidur yang acak-acakan. Menyemprotkan pewangi agar tidak tercium bau keringat atau wangi tubuh arini. Pertemuan ini terasa begitu singkat. Arini pulang. Dengan rindu yang masih tergenggam.

Tepat pukul dua belas siang, istriku pulang membawa sekantong makanan. Ia memang selalu pulang dengan membawa oleh-oleh, meski itu hanya makanan ringan dan murah. Tetapi aku suka. Aku suka kesederhanaan.
Aku menatap mata istriku. Matanya seperti tidak menyimpan kecurigaan sedikitpun. Kulihat ia tersenyum manis ke arahku, senyum paling manis diantara wanita manapun di dunia ini, membuat hatiku tenang.

Istriku memang lebih cantik dari Arini, tapi entah alasan apa aku mengkhianatinya. Mungkin karena sebuah kenangan? Entahlah, aku tidak tahu. Apakah harus ada alasan untuk sebuah perselingkuhan?

Ini malam terasa berbeda. Ada wangi parfum yang membekas dalam ingatan. Wangi aroma tubuh Arini.

Bulan demi bulan telah berganti. Setan selalu memberi kesempatan untukku berselingkuh dengan Arini. Anehnya, tuhan juga masih melindungi perselingkuhan ini dari mata istriku. Setelah pesan singkat itu, pertemuanku dengan Arini terjadi rutin. Tentu saja aku dan arini bertemu hanya pada saat jadwal mengajar istriku saja. Arini yang selalu medatangi rumahku. Kadang aku yang memintanya untuk datang, lebih sering keinginannya sendiri. Pertemuan itu hanya terjadi di rumahku saja. Aku tak berani mengajak arini berkencan diluar. Selain takut ketahuan, aku juga tak memiliki kendaraan untuk mengajaknya kemanapun. Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa aku tak pernah mengantar istriku berangkat mengajar atau menjemputnya atau kemanapun.
Kau harus pulang sebelum istriku pulang.” Seperti biasanya, itulah kalimat yang rutin aku ucapkan.

Setelah perselingkuhan itu, setiap malam aku seperti ingin menulis puisi, kutulis sajak-sajak kenangan dan kukirim ke Koran, majalah, dll. Rupanya media memuat puisiku. Istriku tak pernah tahu bahwa uang yang menghidupinya adalah hasil puisiku yang terinspirasi dari wanita lain. Aku tak pernah terbuka tentang masalah puisi.
Malam ini sunyi sekali. Sunyi yang tidak biasa aku rasa. Akhir-akhir ini aku jarang melihat senyum istriku. Apakah istriku mulai mencium kebohonganku? Segera kutepis ketakutan itu, mungkin ini perasaanku saja.

Istriku sedang menyiapkan sesuatu untuk besok, kulihat ia sibuk dengan sebundel kertas. Barangkali itu hasil ulangan murid-muridnya. Dulu, istriku adalah seorang penulis juga. Ia menulis puisi juga cerpen. Tetapi entah mengapa sejak ia diam-diam membaca puisiku di sebuah file computer, ia tak pernah menulis lagi. Bahkan istriku seperti membenci puisi. Dan tak pernah mau untuk membaca tulisan-tulisanku lagi.

“Mulai besok aku harus mengajar setiap hari di sekolah. Kepala sekolah memberiku tanggung jawab untuk menjadi wali kelas. Aku hanya memiliki libur hari minggu saja.” Tiba-tiba istriku membuka pembicaraan.
Benarkah? Ucapannya membuatku sedikit merasa tersindir, sekaligus senang. Ini berarti pertemuanku dengan Arini akan lebih sering lagi dari sebelumnya.
“Tapi kau akan pulang jam berapa?” Aku tak tahu, apakah pertanyaanku ini membuatnya curiga atau tidak.
“Mungkin masih pukul dua belas, paling telat pukul satu. Memangnya kenapa?” Ia menjawab dengan nada datar, tetapi membuatku gugup.
“Ah, tidak. Aku hanya ga mau melihatmu terlalu sibuk dan kecapaian. Nanti kamu sakit.” Aih, aku merasa ini ucapanku yang paling bohong sedunia.
Tak ada respon dari istriku, hanya sesungging senyum.

Malam berlalu begitu saja. Istriku tertidur pulas. Aku masih terjaga. Kuisi malam yang sunyi ini dengan menulis puisi. Dan membaca puisi-puisi yang kutulis waktu aku masih bersama arini dulu, dalam hati tentunya. Ah, betapa sebait puisi saja dapat mengatarkan kita pada siapa saja dan kemana saja yang kita inginkan, seperti kenangan atau masa lalu misalnya.

>>> 

Entah ini pertemuanku dengan arini yang ke berapa, aku tak tahu. Yang pasti pertemuanku dengan arini hampir terjadi setiap hari, kecuali hari minggu tentunya. Ya, seperti yang pernah istriku katakan sebelumnya, hari minggu adalah hari liburnya.
Seperti biasa aku menyuruh arini pulang sebelum pukul dua belas siang. Arini pulang dengan tergesa.
Tetapi hari ini istriku pulang telat. Pukul tiga sore ia baru sampai di rumah. Tahu bakal seperti ini, aku akan meminta arini untuk tinggal lebih lama.
Dan kulihat istriku membawa sekantong makanan seperti biasanya.
“Kenapa telat?”  Tanyaku singkat.
“Aku pergi dulu ke toko kue”
“Kenapa semalam gak bilang? Kamu ga bohong kan? Kamu ga menyembunyikan apapun dari aku kan?”
Ia hanya diam tak menjawab dan menatap tajam mataku.
Dan mata itu, mata itu seperti sedang menuduhku bahwa akulah yang sedang menyembunyikan sesuatu. Kemudian ia membuka isi kantongnya yang belakangan aku tahu isinya adalah kue tart.
“Hari ini bukan ulang tahunku kan?”
“Memang bukan, besok kan anniversary pernikahan kita, aku ingin merayakannya malam nanti bersama kamu, Pah”

Hatiku tiba-tiba bergetar mendengar ucapannya. Aku merasa bahagia sekaligus berdosa. Betapa jahat aku sebagai seorang suami yang tega mengkhianati seorang istri yang begitu manis seperti dia. Yang begitu baik, mau membeli sepotong kue tart meski hanya kue kecil dan sederhana. Aku menyesal telah membohonginya selama ini hanya demi sebuah kenangan yang melintas.

Kupeluk istriku dalam diam. Istriku membalas pelukanku. Dalam pelukannya, aku semakin merasa sangat mencintainya.

Malampun tiba. Istriku sedang menyiapkan hidangan di meja makanan. Aku duduk di kamar, menulis puisi untuk istriku. Bukan menulis di layar komputer, tetapi di selembar kertas. Entah kenapa air mata menetes begitu saja, kata-kata mengalir deras untuk istriku tercinta. Aku tahu dia tak ingin membaca puisi yang kutulis, tapi biar saja, karena aku yang akan membacakannya langsung.

Di meja makan, tak ada percakapan. Hanya ada doa yang kupanjatkan diam-diam dalam hati. Aku memulainya dengan membaca puisiku untuknya.
Istriku tersenyum. Aku tahu senyumnya. Menandakan bahwa ia suka puisiku, meskipun ia tak mengucapkannya.
Malam yang senyap, dengan balutan dingin udara membuatku rindu pelukan nyaman istriku.
Maaf ya, Pah, anniversarrynya sederhana kaya gini, ga ada yg spesial”. Ia mengucapkannya sembari tersenyum dan tersipu malu. Senyum itu yang membuatku jatuh cinta.
Aku tersenyum tipis. “Tidak Ma, tidak. Aku bahagia meski hanya duduk dan menatap matamu”
Aku rasa, itulah ucapanku yang paling tulus selama aku hidup bersamanya. Memang benar, malam ini aku tidak ingin apapun, aku tidak ingin siapapun. Aku hanya ingin senyum manis istriku, pelukan hangat istriku.

Aku dan istriku menghabiskan malam dengan tawa, dengan genggaman tangan, dengan pelukan yang ternyata selama ini aku rindukan. Betapa aku menyadari bahwa cinta adalah hal yang tak bisa diungkapkan dengan apapun, bahkan dengan puisi paling indah sekalipun. Malampun berlalu. Aku dan istriku tertidur dalam suasana rindu.
Pagi yang biasa, istriku sudah pergi mengajar. Hari ini aku tak mengharapkan arini datang ke rumahku. Tetapi…
Ting..Tong.. Bel berbunyi, aku tahu itu arini. Dan benar saja. Terpaksa aku mempersilahkannya masuk, bukan untuk bercinta, tetapi untuk mengakhiri perselingkuhan ini.

“Kenapa? Ketahuan istrimu?” Ia sedikit membentak dan cemberut.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Aku mencintainya.”
Arini diam. Menatap mataku.
 “Kau tidak mencintainya.” Ia berbicara dengan nada menuduh.
“Aku mencintainya, aku yang tahu!”
“Kau tidak mencintaiku?”
 “Entahlah. Mungkin aku hanya mencintai kenangan.
 “Kenapa harus kenangan, aku nyata sekarang, bukan hanya sekedar kenangan!”
“Aku tahu, tapi…”
“Kalau kau mencintainya, kau tidak mungkin bercinta denganku, kau tidak mungkin mengingatku saat kau sedang bersama istrimu” Tiba-tiba Arini memotong.
“Tidak ada yang bisa menolak kenangan akan masa lalu, dan aku salah sudah menerimamu kembali. Aku tidak mencintaimu, aku mencintai kenangan.”
“Jangan berdalih!”
“Aku tidak berdalih.”
Sunyi menyapa lagi. Aku terdiam. Arinipun terdiam. Tiba-tiba handphonenya berdering.
“Iya, aku tunggu kamu di stasiun.”  Arini menjawab singkat, lalu menutup teleponnya.
“Siapa?”  Sebenarnya aku ragu untuk bertanya, antara ingin tahu dan tidak peduli.
“Suamiku.”
“Suami? Kau tak pernah bercerita kalau kau sudah bersuami!”
“Kau sendiri tak pernah bertanya.” Arini menjawab dengan nada tanpa dosa.

Aku merasa kecewa. Bukan karena patah hati ia telah bersuami. Tetapi aku ingat istriku, aku telah mengkhianatinya demi perempuan yang telah membohongiku. Mungkin ini balasan untuk seorang pembohong, yaitu dibohongi.
“Dan siapa bilang masalalu tidak bisa ditolak?” Tiba-tiba Arini melanjutkan pembicaraanya. “Sebenarnya siapapun bisa melupakan masa lalu dengan lebih menghargai siapa dan apa yang ia miliki saat ini. Dan kau, kau tidak melakukannya! Kau lebih memilih aku dengan dalih kenangan dibanding istrimu”. Kemudian Arini pergi meninggalkan rumahku. Ia menutup pintu tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

Aku terdiam kembali, seperti membenarkan ucapannya. Benarkah apa yang dikatakan arini? Bahwa aku tidak mencintai istriku? Tidak. Aku yakin kalau aku mencintainya. Tetapi aku memang bersalah karena tidak menghargainya setelah apa yang aku lakukan dengan arini.

Rumah semakin terasa sepi. Lebih sepi dari biasanya. Aku telah berdosa pada istriku. Aku menyesal telah mengkhianatinya. Aku ingin mengakui kesalahanku, tapi aku takut ia meninggalkanku. Lebih baik aku diam saja. Dan menyimpan semua itu dalam hati.
Entah mengapa, aku seperti ingin cepat-cepat bertemu dengan istriku. Mungkin karena rindu. Ingin bersandar di bahunya, aku rindu membelai rambutnya. Ingin memanjakannya, mencintainya, dan tentu saja menghargainya.

Kutinggalkan rumah, kemudian aku menyusulnya ke tempat ia mengajar. Padahal jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku benar-benar tak bisa menahan rindu ini. Aku ingin memeluknya sebagai rasa bersalahku.
Setibanya di sekolah. Tak kulihat anak-anak yang berlarian. Barangkali jam istirahat sudah usai dan  anak-anak sedang belajar.

Aku menunggunya di halaman sekolah. Aku mendengar suara seorang guru yang sedang menjelaskan pelajaran, entah pelajaran apa. Tak begitu terdengar. Suaranya samar tapi keras. Barangkali itu suara istriku yang sedang mengajar murid-muridnya. Tapi tak pernah kudengar suaranya sekeras itu saat sedang di rumah.

Pukul sebelas bel dibunyikan. Anak-anak berhamburan dari dalam kelas. Berteriak-teriak. Bising sekali. Para guru mengikut keluar dari belakang, dari ruang kelasnya masing-masing. Tak kulihat sosok istriku keluar dari kelas manapun. Seorang guru yang suaranya terdengar keras tadi keluar dari ruang kelasnya. Ternyata itu bukan istriku, tubuhnya gendut, dan menyeramkan. Aku mencoba bertanya kepadanya.
“Oh, Bu Hana yang guru agama itu ya?”
“Iya, Bu.”
“Dia tadi pulang lebih awal.”
“Pulang lebih awal? Sendirian?
“Tidak, tadi dia pulang diantar oleh pak Kepala Sekolah”. Jawaban yang menusuk hati.
“Kepala Sekolah? Jam berapa, bu?”
"Iya, sekitar pukul sembilan. Mungkin mereka masih di perjalanan pulang."

Suara bising anak-anak yang berhamburan semakin samar di telinga, semakin jauh, menjauh, lenyap, dan sunyi. Seketika sekolah menjadi sepi. Tak ada suara, hanya ada hembusan angin, menusuk hatiku yang bagai dihujam satu pertanyaan pahit; ada apa dengan istriku?


***
 

CATATAN ANGIN Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review