Senin, 20 Februari 2023

Hujan dan Pulang

Diposting oleh Catatan Angin di 04.08 0 komentar

Aku tak menginginkan teduh, aku lebih memilih hujan sebagai teman perjalanan, sehingga aku bisa menikmati rindu yang tersirat di dalamnya. Terlebih waktu yang melambat seolah menginginkanku menikmati dingin lebih lama. 

Tapi aku tidak pernah membenci hujan karenanya. Hanya saja, sepi selalu lebih dulu menguasai isi kepala meski berada diantara mereka yang ramai.  Sekali lagi, aku tak pernah membenci hujan, aku hanya seorang pejalan yang merindukan pulang.

Februari, 2023

Jumat, 10 Februari 2023

ISI KEPALA

Diposting oleh Catatan Angin di 15.35 0 komentar
dingin.
bukan lagi tentang cuaca,
hanya sunyi yang bahkan
seorangpun enggan tuk tinggal.

kosong. 
bukan hanya perihal tempat,
hanya ruang sepi
yang ramaipun tak kunjung mengerti.

diam.
bukan tentang suara,
hanya kekalutan yang hingar 
memekakan isi kepala.

Kerikil Perjalanan

Diposting oleh Catatan Angin di 06.11 0 komentar
Ketika kita pernah melewati jalan yang terjal dan penuh rintangan, seharusnya kerikil kecil tidak lagi menjadi halangan. 

Tapi kenapa saat kaki menginjak kerikil kecil itu, kita masih merasa sakit?

Kerikil kecil yang tidak ada habisnya, seolah setiap langkah terasa berat dan takut untuk menginjakkan kaki di jalan itu.

Kita memang tidak bisa menyapu setiap kerikil di jalan, mungkin saja kita membutuhkan alas kaki yang lebih kuat untuk melangkah. Tetapi saat kerikil itu lebih tajam menusuk, apa yang sebaiknya kita lakukan? Ini bukan tentang perjalanan terjal yang penuh rintangan, ini hanya tentang kerikil kecil yang sesekali menghentikan langkah..

Bukankah perjalanan itu sendiri tidak ada yang mudah?

Barangkali, kita hanya merasa sombong pada diri sendiri, bahwa kita lah manusia paling kuat yang bisa melewati jalan terjal yang penuh rintangan itu, menganggap sepele kerikil yang tidak ada apa-apanya. Padahal kita lupa bahwa kerikil kecil itulah perjalanan panjang yang sebenarnya. Rintangan yang tak akan ada habisnya, dimana dalam seriap langkah kita sendirilah yang harus menyeka lukanya.

Jurang di Masa Lalu

Diposting oleh Catatan Angin di 01.29 0 komentar
Seringkali aku berpikir, apa mungkin dengan menikah "lagi" hidup akan jauh lebih bahagia? 

Aku pernah menikah, dan aku tahu bagaimana perasaan tidak bahagia itu. Bukan hanya sekedar perasaan sedih. Tapi lebih dari itu, seperti perasaan ingin melompat dari tebing yang paling tinggi. Meski tebing itu indah, meski tidak ada orang yang berusaha mendorong kita, namun disana kamu selalu disuguhi oleh rasa takut dan tidak ada yang menjamin rasa aman sehingga lelah adalah akhir dan melompat ke jurang adalah satu-satunya jalan agar aku tidak lagi dalam ketakutan itu. Tak peduli aku akan mati, atau menemukan sesuatu yang lebih mengerikan di disana namun jurang adalah satu-satunya tempat yang harus aku tuju. Pada akhirnya, aku melompat ke jurang itu bersama anakku.

Selama itu aku tidak pernah tahu, bagaimana perasaan bahagia? Karena setelah aku melompat ke jurang, aku tetap merasa tidak aman. Bagaimana dengan anakku kelak? Hanya diri sendiri yang mampu menjamin rasa aman itu. Tetapi dibalik itu, aku memiliki perasaan tenang, karena aku tidak lagi mengganguntungkan hidupku kepada seseorang. Jadi aku mulai berpikir, "Oh, aku tidak bahagia karena aku berharap dia memberiku lebih", "Oh, aku tidak bahagia karena aku berharap dia yang menjamin hidupku", "Oh, aku tidak bahagia karena seharusnya dialah yang membahagiakan aku". Saat itu aku merasa bahwa bahagia adalah ketika kita tidak berharap pada siapa-siapa. Tetapi dalam rumah tangga, bukankah wajar seorang perempuan menggantungkan kebahagiaannya pada suami? 

KESEDIHAN TERBESARku adalah ketika aku harus meninggalkan anakku yang masih merah, dia belum genap 2 bulan. Tapi aku harus bekerja. KENAPA? KENAPA hidupku dulu begitu?  Aku adalah anak yang dititpkan di orang lain dan aku tidak ingin meninggalkan anakku seperti orangtuaku meninggalkanku dulu. Anak pertamaku, dia masih bayi, aku meninggalkanmu demi bisa menghidupimu. Kenapa aku tidak seperti wanita lain yang dibiarkan mengurus rumah tangga dan fokus mendidik anak-anak? Aku pun ingin hidup seperti itu. Bahkan di jurang itu, aku masih berjuang sendiri untuk anakku. Bekerja sampai malam meninggalkan anakku. Aku selalu menyesali semuanya, jika aku bahagia dalam pernikahan sebelumnya, aku tidak harus bekerja dan meninggalkan anakku untuk menghidupi diriku sendiri. Tapi apa bedanya, di tebing itupun aku tetap berjuang menghidupi diri sendiri dan anakku. 

Sepanjang menyusuri jurang itu dengan sisa-sia luka, aku masih sanggup membahagiakan diriku sendiri. Hidup berdua dengan anakku. Hingga akhirnya aku melakukan kesalahan pertamaku. Apa itu? AKU BERHARAP LAGI. Aku berharap ada seseorang yang akan menolongku dan menjamin kebahagiaanku. Maka, ketika orang-orang datang menawarkan tangannya, bahunya, hartanya, aku merasa "inikah rasanya dijanjikan rasa aman itu?" Sepertinya aku memang perempuan lemah yang selalu ingin menggantungkan kebahagiaan kepada seseorang. Aku hanya ingin seperti perempuan lain yang dijadikan ratu dalam singgasana rumah tangganya. Namun lagi-lagi aku berpikir, seorang ratu tidak akan pernah selemah itu sehingga memilih lompat ke jurang. Mungkin ia akan mempertahankan harga dirinya untuk tidak menjadi janda dan tidak nekat membawa anaknya dalam penderitaan.

Kemudian aku tejatuh dalam pelukan seorang laki-laki yang menjanjikanku "bahagia". Perempuan paling bahagia yang selama ini aku inginkan.

Apa itu bahagia? Aku tidak tahu.

Apakah menikah lagi membuat hidup lebih bahagia? Iya. Pernikahan yang sekarang tidak membuatku ingin lompat ke jurang meski sesekali aku menangis karena pikiranku sendiri. Karena dengan menikah, lagi-lagi aku memiliki perasaan berharap pada seseorang. Sehingga ketika harapan itu tidak sesuai, entah apa yang aku rasakan sehingga membuatku ingin menangis. Seharusnya manusia memang tidak boleh menggantungkan hidup pada manusia lain. Tetapi menggantungkan kebahagiaan pada suami bukan suatu kesalahan. Meski setelah menikahpun, hidupku tidak banyak berubah. Aku masih berstatus ibu yang bekerja. Jadi aku tidak sepenuhnya menggantungkan hidupku. Seringkali aku dianggap mandiri, tetap saja aku tidak ingin menjadi mandiri. Meskipun aku bisa untuk tidak bergantung, tetap saja aku ingin bergantung pada seseorang. Meskipun aku bisa membahagiakan diri sendiri tetap saja aku ingin dibahagiakan. Aku hanya ingin dibahagiakan. Itu saja.

Tulisan ini intinya apa? Jika ingin bahagia, jangan menggantungkan hidup pada orang lain termasuk suami sendiri karena kau akan kecewa ketika tidak sesuai harapan. Tapi meski aku tahu itu dan aku bisa membahagiakan diriku sendiri, aku tetap ingin menggantungkan kebahagiaanku pada suami dalam hal apapun. Karena bagiku membahagiakan diri sendiri dengan dibahagiakan rasanya berbeda. 

Tulisan ini memang ditulis oleh orang yang egois yang hanya mementingkan kebahagiaan pribadi sedangkan dia tidak tahu apakah pasangannya juga bahagia atau tidak? Bahkan mungkin penulis tidak tahu cara membahagiakan. Meskipun tahu pun belum tentu penulis ingin melakukannya. Karena yang dipikirkannya adalah kebahagiaannya sendiri karena masa lalunya yang tidak bahagia.

Egois memang tapi apakah ini resiko menikahi seseorang pernah tidak bahagia dalam pernikahannya? Mungkin iya. Tapi lebih tepatnya, ini resiko karena menikahi kerumitan seorang penulis yang pernah melompat ke jurang.
 

CATATAN ANGIN Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review