Selasa, 10 Desember 2013

CERPEN - PERPISAHAN

Diposting oleh Catatan Angin di 01.49


PERPISAHAN
Oleh : Royhanatul Fauziah

Setiap kali aku melewati dermaga itu, aku selalu teringat pada wajahmu yang selalu berpeluh, juga pada bau matahari yang menempel di tubuhmu, atau pada rambut panjangmu yang tergerai, tersibak angin selatan.

Di dermaga itu kau meninggalkanku dengan senyum paling pasi. Kau begitu lucu ketika tersenyum, bahkan ketika menangispun wajahmu selalu menyisakan kelucuan. Wajahmu, semburat bulan purnama. Matamu sayu, samar-samar kulihat air mata 
menetes di pipimu yang bulat.

Kenapa kau menangisi kepergianmu sendiri? Harusnya aku yang lebih pantas menangis. Menangisimu, karena aku yang kehilanganmu.

Tapi aku masih mampu menahan gerimis di mataku. Aku tak mengerti, apalah arti air mata jika kepergian menjadi sebuah pilihan yang tak mampu kau halangi, meski dengan setumpuk kenangan manis, kau tetap tak bisa menahannya tinggal meski dengan sejuta alasan. Jika dia ingin pergi, maka dia akan pergi. Dan kau hanya bisa terdiam, membiarkannya pergi sambil tak tahu harus berbuat apa. 

Haruskah kulambaikan tangan untuk sebuah kepergian? Lambaian tangan adalah ucapan selamat tinggal dengan bahasa yang lain. Jangan, jangan ucapkan selamat tinggal. Jangan lambaikan tanganmu karena aku tak sanggup membalasnya.
Cahaya matahari senja memantul ke arahku lewat riak air di laut. Cahaya keemasan itu membangunkanku dari lamunan masa lalu.

Ah, dermaga itu kini hanya tinggap kapal-kapal yang sepi. Sepi? Itulah yang kini kurasakan. Adakah kau merasakan kesepian yang sama disana? Atau kau sedang menikmati senja dengan kekasihmu yang baru? Entahlah, yang pasti saat ini aku menikmati kesepianku.

Sejak enam tahun kepergianmu, laut seperti hamparan buku harian yang kosong. Apa yang hendak kutulis, jika segala kalimat-kalimat indah ada padamu dan kau membawa pergi kalimat-kalimat indah itu. Laut hanya menyisakan kebiruan, kebiruan yang selalu mengingatkanku pada biru matamu.

Aku tak pernah tahu alasan kepergianmu. Mungkin kau ingin memperbaiki hidupmu dengan bekerja di sebrang sana, mungkin kau bosan berada di desa ini bersamaku, atau mungkin kau pergi karena diusir para tetangga karena kau terlalu cantik untuk seorang gadis desa. Ah, mengapa kau merahasiakan alasan kepergianmu?
Aku membutuhkan alasan untuk sebuah kepergian, tetapi kau tak pernah mengucapkannya. Apakah kau akan pergi dengan laki-laki lain? Aku tak pernah tahu.

“Kuharap kau mau menerima kepergianku meninggalkan desa ini”  Itulah kalimat terakhir yang kau ucapkan ketika kita duduk berdua di bawah pohon kelapa yang sudah kering. Kau mengucapkannya sembari tersenyum. Aku tahu, itu bukan senyummu yang paling tulus.

Aku tak berani bertanya “kenapa”, karena matamu terlanjur berkaca-kaca. Aku takut membuatmu menangis.  Dan aku tak berani menatap matamu lebih dalam.
Aku mengantarmu ke dermaga itu. Dermaga adalah tempat dimana segala pertemuan dan perpisahan bisa terjadi. Seperti perpisahan kita. Kubiarkan badan kapal mengayunkan tubuhmu hingga jauh dan menjauh. Aku masih berdiri memandangi kapal yang kau tumpangi. Tubuhmu perlahan menghilang dibalik cahaya senja, menjadi sebuah siluet. Dan aku yakin saat itu kita telah berpisah, pada senja yang sendu.

Aku tak menangis waktu itu, tapi entahlah. Yang pasti saat itu aku merasa sangat sedih. Atau karena kesedihanku, aku tak menyadari kalau aku sedang menangis.
Tetapi, setiap kali aku merindukanmu, aku selalu menyadari bahwa kristal-kristal sering berjatuhan dari mataku, membasahi bantal tidurku yang lapuk, membasahi mimpi burukku pada malam-malam yang sunyi. Membuat mataku sembab di pagi hari dan ditertawakan embun dini hari karena aku laki-laki. Apakah laki-laki tak boleh menangisi kerinduan yang tak pernah sampai? Apakah laki-laki tak boleh menangisi kenangan? Apakah kau sedang menangis, seperti saat kau menangis pada senja yang sendu?

Pernah suatu hari kau kembali dengan gincu di bibirmu, juga baju yang berwarna merah terang, kau kembali dengan rambut sebahu, aku tak peduli kemana rambutmu yang dulu sepinggang itu,. Aku hanya peduli padamu yang waktu itu telah kembali. Tapi kau begitu lain, seperti bukan kau. Kau yang kukenal dulu begitu sangat sederhana dan anggun.

Kau masih berdiri di depan perahu yang tadi kau tumpangi. Aku hanya menatapmu sambil berdiri di lidah pantai. Kaupun menatapku dengan tatapan heran. Aku terdiam, barangkali kau sudah tak mengenaliku.

Tiba-tiba dari belakang seorang lelaki menuntun seorang anak perempuan berusia lima tahun dan mereka memanggilmu “Mama”. Sambil tertawa riang, kau menyambutnya dengan pelukan hangat. Pelukan yang selalu kurindukan selama enam tahun perpisahan kita. Kau telah kembali dengan cinta yang lain.

Dulu kau meninggalkanku untuk sebuah perpisahan. Dan sekarang mengapa kau harus kembali, untuk sebuah perpisahan yang lebih menyakitkan?
Seperti yang pernah kukatakan, Dermaga adalah tempat dimana segala pertemuan dan perpisahan bisa terjadi. Seperti pertemuan dan perpisahan kita.

0 komentar :

Posting Komentar

 

CATATAN ANGIN Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review