KARMA
Oleh : Royhanatul Fauziah
Jujur saja,
malam ini aku seperti ditikam kenangan. Entah kenapa tiba-tiba saja aku
teringat wajahmu, bersemayam di otakku. Begitu anggun dengan balutan busana
berwarna biru tua, seperti warna langit pada bulan purnama. Bulan purnama yang
selalu mengingatkanku pada wajah-wajah masa lalu yang jauh.
Bayanganmu
seperti berkelebat, tanganmu seolah melambai ke arahku, memintaku untuk
mendekatimu. Tetapi tak mampu kuraih. Kau dimana? Aku tak pernah tahu. Kuingat
semua kenangan kita dulu, seringkali kau megajakku kesana kemari, seakan semua
tempat sudah kita kunjungi. Aku jadi teringat dulu kita pernah mengunjungi
kebun binatang, dan kau ingin berfoto di dekat kandang monyet, sambil meledekmu
mirip monyet tersebut, kita tertaawa bersama-sama. Haha, tetapi siapa yang
mampu mengembalikan kenangan?
Langit
sudah mengatupkan cahaya, gelap diluar, tetapi tidak disini, di kamar ini.
Kulihat langit-langit atap kamar, tak ada apapun, bahkan cicak yang biasanya
lewatpun tak ada.. Hanya ada secercah cahaya neon yang remang, lama tak
kuganti.
Angin
menderu diluar jendela, seperti mengintip dari balik gorden. Hy, apakah kau
datang bersama angin malam?
Aku
kesepian.
Jam sudah
menunjukan pukul dua pagi, atau malam? Entahlah, Kusebut ini dini hari. Bagiku antara malam dan pagi tak ada bedanya,
sama-sama menyimpan kebisuan yang pekat, yang aku tahu, antara keduanya hanya
dipisahkan oleh lenguh adzan subuh.
Aku mencoba
untuk tertidur. Kurapatkan selimut kemudian memejamkan mata, tetapi percuma. Dalam
gelap pejaman mata, aku seperti melihat kamu sedang tersenyum entah dimana, aku
tak peduli. Aku hanya ingin menghentikan ingatan tentang kamu malam ini. Kucoba
memejamkan mata kembali, terpejam sepejam-pejamnya, tetapi sia-sia. Wajahmu
semakin mendekat ke arahku. Aku seperti sedang jatuh cinta saja malam ini,
jatuh cinta pada kenangan.
Aku bangkit
dari tempat tidurku. Kunyalakan komputer di meja kerjaku. Aku ingin menulis
sesuatu agar lamunan ini tidak sia-sia. Aku ingin menuliskan kenangan. Menulis
tentangmu. Microsoftword sudah
tertancap dilayarku, tetapi apa yang hendak aku tulis? Kata-kata seperti
berebut berhamburan keluar dari otakku. Semua kata seolah meninggalkanku, semuanya
kosong, dan hanya tertinggal satu kata; namamu.
Aku kembali
melamun.
“Ngga tidur, Pah? Udah jam 3 loh..”
Suara itu
membangunkanku dari lamunan panjang. Ya, itu suara istriku.
“Eh, ngga.. emm, belum..”
Istriku
lalu menggeser tubuhnya sedikit ke samping ranjang, lalu memberi isyarat untukku
agar aku tidur di sampingnya. Kubiarkan komputer itu tetap menyala, akupun
berbaring di sampingnya, kemudian ia memelukku. Pelukan ini. Ya, pelukan ini.
Aku suka pelukannya. Hangat dan membuatku merasa nyaman.
Pelukannya masih
sama dengan pelukan saat aku dan istriku berkencan dulu, di sebuah danau yang
dikelilingi tanaman hijau. Ikan-ikan berenang, sesekali mereka meloncat ke
udara lalu tenggelam lagi, menimbulkan suara yang berkecipak riak, teratai
menggelombang. Aku mengenalnya pertama kali di sebuah pesta pernikahan seorang teman,
kulihat ia seperti perempuan yang berusia belasan tahun, padahal ia sudah 20
tahun, empat tahun lebih muda daripada aku. Tubuhnya mungil, dia istri yang
tidak cantik, tetapi wajahnya manis dan menarik. Aku suka sekali mencubit
pipinya saat ia tersenyum. Dan senyumnya yang membuat aku jatuh cinta.
Tetapi
malam ini. Ya, malam ini dan bayangan itu, masih mengganggu pikiranku. Aku
merasa berdosa dalam pelukan istriku, aku malah mengingat wanita lain, dialah mantan
kekasihku. Ah memang, tak ada yang mampu menahan ingatan tentang masalalu jika ia datang bertandang ke otak. Semua
seakan terekam begitu saja. Dan tak mampu kuhentikan.
Udara
mengembun di dedaunan, pagi terasa sunyi, cahaya matahari menyelinap lewat kaca
jendela.
Istriku
sudah bersiap-siap untuk berangkat mengajar. Ia seorang guru SD. Belum lama ia
mengajar disana, baru tiga bulan yang lalu. Ia tak terlalu sibuk. Hanya
mengajar tiga hari saja. Senin, Rabu, dan Sabtu. Menurutku, sifatnya yang tidak
ceria dan cenderung pendiam tidak cocok sebagai seorang guru SD, tetapi
karakternya yang lembut rasanya berada di tengah anak-anak memang cocok
untuknya. Tapi entahlah, aku tidak pernah tahu bagaimana dia saat bersama
anak-anak. Aku tak pernah melihatnya mengajar, atau menengoknya ke sekolah.
“Aku berangkat ya!” Istriku pamit, sambil mencium tanganku.
Ah, saat
seperti ini yang membuat aku merasa dicintai.
Rumah yang
sepi dan memang selalu sepi. Semua cahaya lampu telah padam, hanya ada cahaya
matahari kekuningan dan lampu yang menyala dari layar komputer yang semalam tak
kumatikan. Aku ngantuk sekali, semalam aku sengaja tidak tidur, aku takut kalau
aku tidur tiba-tiba aku mengigau nama mantan kekasihku dulu. Ya, mengingat
seseorang sebelum tidur katanya dapat membuat seseorang itu masuk ke mimpi
kita, atau bahkan membuat kita menyebut namanya dalam tidur.
Tiba-tiba suara
handphone berdering, membuat aku terperanjat karena hendak terlelap.
Sebuah
pesan singkat.
“Hai, apa kabar? Lama tak bertemu,
masih ingat aku? Aku Arini.”
Aku
terdiam, heran dan tak percaya. Entah ini sebuah kebetulan atau
ketidaksengajaan aku tidak tahu.
Hah, Arini?
Nama itu, nama yang semalaman tadi mengganggu pikiranku. Dalam
ketidakpercayaanku, aku membalas pesannya.
>>>
Dan Arini
mendatangi rumahku. Aku menikmati pertemuan ini. Aku tidak begitu khawatir akan
ketahuan istriku, karena aku tahu jadwalnya pulang mengajar. Ia selalu pulang
pada jam yang sama, pukul dua belas siang.
“Kau masih menulis?” Arini memulai percakapan.
“Ya. Aku masih bercita-cita menjadi
seorang penulis”
Memang
itulah pekerjaanku, aku menghidupi istriku dari menulis puisi, cerpen atau
essai yang aku kirim ke media.
Aku
mengobrol banyak dengan Arini. Rasanya aku seperti kembali pada kenangaku dulu
bersamanya. Ia tak banyak berubah, wajahnya biasa saja tapi terlihat lebih
dewasa dengan kacamata yang dikenakannya.
Aku
menceritakan kejadian semalam kepada arini, tentang ingatan masa lalu yang
tiba-tiba muncul.
“Katanya, jika kita mengingat
seseorang, berarti seseorang itu sedang mengingat kita juga” . Arini berbicara selayaknya orang
yang sedang merindukan seseorang.
“Apa itu berarti semalam kau sedang
mengingatku juga, Arini?”
“Mungkin.” Arini menjawab singkat.
“Lalu apa yang membuatmu mencariku
lagi, setelah perpisahan kita beberapa tahun silam?”
“Kenangan.” Jawabnya singkat lagi.
Ah, masa
lalu rupanya dapat mengantarkan kita pada kenangan, dan betapa kenangan itulah
yang membuatku mengkhianati istriku.
Rumah
semakin sepi, tak ada suara tv, suara riuh para tetangga atau percakapan lagi.
Pertemuan kami berlanjut di tempat tidur, entah siapa yang memulai aku tidak
peduli.
Kenangan.
Ya, kenangan. Siapa yang mampu menolak kenangan? Ketika ia datang, terbayanglah
semua hal indah yang pernah dilalui. Membuat aku melupakan diriku sendiri bahwa
aku sudah memiliki istri.
“Sudah pukul sepuluh, kau harus
pulang sebelum istriku pulang. Istriku akan pulang pukul duabelas.”
Arini
langsung beringsutan, rambutnya yang acak-acakan ia rapikan. Cepat-cepat aku
membereskan tempat tidur yang acak-acakan. Menyemprotkan pewangi agar tidak
tercium bau keringat atau wangi tubuh arini. Pertemuan ini terasa begitu
singkat. Arini pulang. Dengan rindu yang masih tergenggam.
Tepat pukul
dua belas siang, istriku pulang membawa sekantong makanan. Ia memang selalu
pulang dengan membawa oleh-oleh, meski itu hanya makanan ringan dan murah.
Tetapi aku suka. Aku suka kesederhanaan.
Aku menatap
mata istriku. Matanya seperti tidak menyimpan kecurigaan sedikitpun. Kulihat ia
tersenyum manis ke arahku, senyum paling manis diantara wanita manapun di dunia
ini, membuat hatiku tenang.
Istriku
memang lebih cantik dari Arini, tapi entah alasan apa aku mengkhianatinya.
Mungkin karena sebuah kenangan? Entahlah, aku tidak tahu. Apakah harus ada
alasan untuk sebuah perselingkuhan?
Ini malam
terasa berbeda. Ada wangi parfum yang membekas dalam ingatan. Wangi aroma tubuh
Arini.
Bulan demi
bulan telah berganti. Setan selalu memberi kesempatan untukku berselingkuh
dengan Arini. Anehnya, tuhan juga masih melindungi perselingkuhan ini dari mata
istriku. Setelah pesan singkat itu, pertemuanku dengan Arini terjadi rutin. Tentu
saja aku dan arini bertemu hanya pada saat jadwal mengajar istriku saja. Arini
yang selalu medatangi rumahku. Kadang aku yang memintanya untuk datang, lebih
sering keinginannya sendiri. Pertemuan itu hanya terjadi di rumahku saja. Aku
tak berani mengajak arini berkencan diluar. Selain takut ketahuan, aku juga tak
memiliki kendaraan untuk mengajaknya kemanapun. Itu juga menjadi salah satu
alasan mengapa aku tak pernah mengantar istriku berangkat mengajar atau
menjemputnya atau kemanapun.
“Kau harus pulang sebelum istriku pulang.” Seperti
biasanya, itulah kalimat yang rutin aku ucapkan.
Setelah
perselingkuhan itu, setiap malam aku seperti ingin menulis puisi, kutulis
sajak-sajak kenangan dan kukirim ke Koran, majalah, dll. Rupanya media memuat
puisiku. Istriku tak pernah tahu bahwa uang yang menghidupinya adalah hasil
puisiku yang terinspirasi dari wanita lain. Aku tak pernah terbuka tentang
masalah puisi.
Malam ini
sunyi sekali. Sunyi yang tidak biasa aku rasa. Akhir-akhir ini aku jarang
melihat senyum istriku. Apakah istriku mulai mencium kebohonganku? Segera
kutepis ketakutan itu, mungkin ini perasaanku saja.
Istriku
sedang menyiapkan sesuatu untuk besok, kulihat ia sibuk dengan sebundel kertas.
Barangkali itu hasil ulangan murid-muridnya. Dulu, istriku adalah seorang
penulis juga. Ia menulis puisi juga cerpen. Tetapi entah mengapa sejak ia
diam-diam membaca puisiku di sebuah file computer, ia tak pernah menulis lagi.
Bahkan istriku seperti membenci puisi. Dan tak pernah mau untuk membaca
tulisan-tulisanku lagi.
“Mulai besok aku harus mengajar
setiap hari di sekolah. Kepala sekolah memberiku tanggung jawab untuk menjadi
wali kelas. Aku hanya memiliki libur hari minggu saja.” Tiba-tiba istriku membuka
pembicaraan.
Benarkah? Ucapannya
membuatku sedikit merasa tersindir, sekaligus senang. Ini berarti pertemuanku
dengan Arini akan lebih sering lagi dari sebelumnya.
“Tapi kau akan pulang jam berapa?” Aku tak tahu, apakah pertanyaanku ini
membuatnya curiga atau tidak.
“Mungkin masih pukul dua belas,
paling telat pukul satu. Memangnya kenapa?” Ia menjawab dengan nada datar, tetapi membuatku gugup.
“Ah, tidak. Aku hanya ga mau
melihatmu terlalu sibuk dan kecapaian. Nanti kamu sakit.” Aih, aku merasa ini ucapanku yang
paling bohong sedunia.
Tak ada
respon dari istriku, hanya sesungging senyum.
Malam
berlalu begitu saja. Istriku tertidur pulas. Aku masih terjaga. Kuisi malam
yang sunyi ini dengan menulis puisi. Dan membaca puisi-puisi yang kutulis waktu
aku masih bersama arini dulu, dalam hati tentunya. Ah, betapa sebait puisi saja
dapat mengatarkan kita pada siapa saja dan kemana saja yang kita inginkan,
seperti kenangan atau masa lalu misalnya.
>>>
Entah ini
pertemuanku dengan arini yang ke berapa, aku tak tahu. Yang pasti pertemuanku
dengan arini hampir terjadi setiap hari, kecuali hari minggu tentunya. Ya,
seperti yang pernah istriku katakan sebelumnya, hari minggu adalah hari liburnya.
Seperti
biasa aku menyuruh arini pulang sebelum pukul dua belas siang. Arini pulang
dengan tergesa.
Tetapi hari
ini istriku pulang telat. Pukul tiga sore ia baru sampai di rumah. Tahu bakal
seperti ini, aku akan meminta arini untuk tinggal lebih lama.
Dan kulihat
istriku membawa sekantong makanan seperti biasanya.
“Kenapa telat?”
Tanyaku singkat.
“Aku pergi dulu ke toko kue”
“Kenapa semalam gak bilang? Kamu ga
bohong kan? Kamu ga menyembunyikan apapun dari aku kan?”
Ia hanya
diam tak menjawab dan menatap tajam mataku.
Dan mata
itu, mata itu seperti sedang menuduhku bahwa akulah yang sedang menyembunyikan
sesuatu. Kemudian ia membuka isi kantongnya yang belakangan aku tahu isinya
adalah kue tart.
“Hari ini bukan ulang tahunku kan?”
“Memang bukan, besok kan anniversary
pernikahan kita, aku ingin merayakannya malam nanti bersama kamu, Pah”
Hatiku
tiba-tiba bergetar mendengar ucapannya. Aku merasa bahagia sekaligus berdosa.
Betapa jahat aku sebagai seorang suami yang tega mengkhianati seorang istri
yang begitu manis seperti dia. Yang begitu baik, mau membeli sepotong kue tart
meski hanya kue kecil dan sederhana. Aku menyesal telah membohonginya selama
ini hanya demi sebuah kenangan yang melintas.
Kupeluk
istriku dalam diam. Istriku membalas pelukanku. Dalam pelukannya, aku semakin
merasa sangat mencintainya.
Malampun
tiba. Istriku sedang menyiapkan hidangan di meja makanan. Aku duduk di kamar,
menulis puisi untuk istriku. Bukan menulis di layar komputer, tetapi di
selembar kertas. Entah kenapa air mata menetes begitu saja, kata-kata mengalir
deras untuk istriku tercinta. Aku tahu dia tak ingin membaca puisi yang kutulis,
tapi biar saja, karena aku yang akan membacakannya langsung.
Di meja
makan, tak ada percakapan. Hanya ada doa yang kupanjatkan diam-diam dalam hati.
Aku memulainya dengan membaca puisiku untuknya.
Istriku
tersenyum. Aku tahu senyumnya. Menandakan bahwa ia suka puisiku, meskipun ia tak
mengucapkannya.
Malam yang
senyap, dengan balutan dingin udara membuatku rindu pelukan nyaman istriku.
“Maaf ya, Pah, anniversarrynya sederhana kaya gini, ga ada yg spesial”. Ia mengucapkannya sembari tersenyum dan
tersipu malu. Senyum itu yang membuatku jatuh cinta.
Aku
tersenyum tipis. “Tidak Ma, tidak. Aku
bahagia meski hanya duduk dan menatap matamu”
Aku rasa,
itulah ucapanku yang paling tulus selama aku hidup bersamanya. Memang benar,
malam ini aku tidak ingin apapun, aku tidak ingin siapapun. Aku hanya ingin
senyum manis istriku, pelukan hangat istriku.
Aku dan
istriku menghabiskan malam dengan tawa, dengan genggaman tangan, dengan pelukan
yang ternyata selama ini aku rindukan. Betapa aku menyadari bahwa cinta adalah
hal yang tak bisa diungkapkan dengan apapun, bahkan dengan puisi paling indah
sekalipun. Malampun berlalu. Aku dan istriku tertidur dalam suasana rindu.
Pagi yang
biasa, istriku sudah pergi mengajar. Hari ini aku tak mengharapkan arini datang
ke rumahku. Tetapi…
Ting..Tong..
Bel berbunyi, aku tahu itu arini. Dan benar saja. Terpaksa aku
mempersilahkannya masuk, bukan untuk bercinta, tetapi untuk mengakhiri
perselingkuhan ini.
“Kenapa? Ketahuan istrimu?” Ia sedikit membentak dan cemberut.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Aku mencintainya.”
Arini diam.
Menatap mataku.
“Kau tidak mencintainya.” Ia berbicara dengan nada menuduh.
“Aku mencintainya, aku yang tahu!”
“Kau tidak mencintaiku?”
“Entahlah. Mungkin aku hanya mencintai
kenangan.
“Kenapa harus kenangan, aku nyata sekarang,
bukan hanya sekedar kenangan!”
“Aku tahu, tapi…”
“Kalau kau mencintainya, kau tidak
mungkin bercinta denganku, kau tidak mungkin mengingatku saat kau sedang
bersama istrimu” Tiba-tiba
Arini memotong.
“Tidak ada yang bisa menolak kenangan
akan masa lalu, dan aku salah sudah menerimamu kembali. Aku tidak mencintaimu,
aku mencintai kenangan.”
“Jangan berdalih!”
“Aku tidak berdalih.”
Sunyi
menyapa lagi. Aku terdiam. Arinipun terdiam. Tiba-tiba handphonenya berdering.
“Iya, aku tunggu kamu di stasiun.” Arini menjawab singkat, lalu menutup
teleponnya.
“Siapa?” Sebenarnya aku ragu untuk bertanya, antara ingin
tahu dan tidak peduli.
“Suamiku.”
“Suami? Kau tak pernah bercerita
kalau kau sudah bersuami!”
“Kau sendiri tak pernah bertanya.” Arini menjawab dengan nada tanpa
dosa.
Aku merasa
kecewa. Bukan karena patah hati ia telah bersuami. Tetapi aku ingat istriku,
aku telah mengkhianatinya demi perempuan yang telah membohongiku. Mungkin ini
balasan untuk seorang pembohong, yaitu dibohongi.
“Dan siapa bilang masalalu tidak
bisa ditolak?” Tiba-tiba
Arini melanjutkan pembicaraanya. “Sebenarnya
siapapun bisa melupakan masa lalu dengan lebih menghargai siapa dan apa yang ia
miliki saat ini. Dan kau, kau tidak melakukannya! Kau lebih memilih aku dengan
dalih kenangan dibanding istrimu”. Kemudian Arini pergi meninggalkan
rumahku. Ia menutup pintu tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
Aku terdiam
kembali, seperti membenarkan ucapannya. Benarkah apa yang dikatakan arini?
Bahwa aku tidak mencintai istriku? Tidak. Aku yakin kalau aku mencintainya.
Tetapi aku memang bersalah karena tidak menghargainya setelah apa yang aku
lakukan dengan arini.
Rumah
semakin terasa sepi. Lebih sepi dari biasanya. Aku telah berdosa pada istriku.
Aku menyesal telah mengkhianatinya. Aku ingin mengakui kesalahanku, tapi aku
takut ia meninggalkanku. Lebih baik aku diam saja. Dan menyimpan semua itu
dalam hati.
Entah
mengapa, aku seperti ingin cepat-cepat bertemu dengan istriku. Mungkin karena
rindu. Ingin bersandar di bahunya, aku rindu membelai rambutnya. Ingin
memanjakannya, mencintainya, dan tentu saja menghargainya.
Kutinggalkan
rumah, kemudian aku menyusulnya ke tempat ia mengajar. Padahal jam masih
menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku benar-benar tak bisa menahan rindu ini. Aku
ingin memeluknya sebagai rasa bersalahku.
Setibanya
di sekolah. Tak kulihat anak-anak yang berlarian. Barangkali jam istirahat
sudah usai dan anak-anak sedang belajar.
Aku
menunggunya di halaman sekolah. Aku mendengar suara seorang guru yang sedang
menjelaskan pelajaran, entah pelajaran apa. Tak begitu terdengar. Suaranya
samar tapi keras. Barangkali itu suara istriku yang sedang mengajar
murid-muridnya. Tapi tak pernah kudengar suaranya sekeras itu saat sedang di
rumah.
Pukul
sebelas bel dibunyikan. Anak-anak berhamburan dari dalam kelas. Berteriak-teriak.
Bising sekali. Para guru mengikut keluar dari belakang, dari ruang kelasnya
masing-masing. Tak kulihat sosok istriku keluar dari kelas manapun. Seorang
guru yang suaranya terdengar keras tadi keluar dari ruang kelasnya. Ternyata
itu bukan istriku, tubuhnya gendut, dan menyeramkan. Aku mencoba bertanya
kepadanya.
“Oh, Bu Hana yang guru agama itu
ya?”
“Iya, Bu.”
“Dia tadi pulang lebih awal.”
“Pulang lebih awal? Sendirian?
“Tidak, tadi dia pulang diantar oleh pak Kepala Sekolah”. Jawaban
yang menusuk hati.
“Kepala Sekolah? Jam berapa, bu?”
"
Iya, sekitar pukul sembilan. Mungkin mereka masih di perjalanan pulang."
Suara
bising anak-anak yang berhamburan semakin samar di telinga, semakin jauh,
menjauh, lenyap, dan sunyi. Seketika sekolah menjadi sepi. Tak ada suara, hanya
ada hembusan angin, menusuk hatiku yang bagai dihujam satu pertanyaan pahit; ada apa dengan istriku?
***