Senin, 24 Juni 2013

YANG INGIN KUSAMPAIKAN ADALAH

Diposting oleh Catatan Angin di 03.33 0 komentar
Dalam rindu ini angin masih menuliskan
Kesepian. Tentang laut yang kehilangan ombak
Juga lenguhan perahu-perahu yang mulai karam itu
Dan setiap kuingat kembali kenangan
Atau kudengar lagi suaramu yang berat tertahan kelesuan malam
Rindu ini semakin terasa menyayat

Aku merindukanmu malam ini
Sepanjang tubuhku terjaga bahkan dalam tidur yang tak terpejam
Tapi aku mengerti, kau bukan lagi dermaga yang siap
Menerima dan memeluk jika perahu rinduku ingin berlabuh
Kau adalah nafasku yang tertinggal di tumpukan jerami
Rindu ini semakin terasa menyayat

Kau tahu tak ada yang lebih mencekik dalam kesendirian malam ini
Selain rinduku yang tak tau bagaimana ia harus bertumpah


Juni 2013

Jumat, 21 Juni 2013

YANG TIADA

Diposting oleh Catatan Angin di 03.32 0 komentar
kemarin bulan tak lagi terang, tertutup awan hitam
yang tak sengaja dibawa angin malam, mungkin
malam ini lebih parah
bulan tak kelihatan lagi, padahal sudah tanggal empat belas
disisakannya redup yang lebur bersama sepi yang biasa
lebih baik kunikmati langit malam ini serta
keluhan angin dingin yang membaur bersama rindu
ini bukan kali pertamanya aku dirundung pilu
tapi mengapa ada yang mengalir dari kelopak mata
hy, ini bukan luka. Ini hanya sepi yang biasa
dan menepilah malam, karena bulan tak kelihatan lagi
takkan pernah


Juni 2013

CERPEN - JEJAK LUKA

Diposting oleh Catatan Angin di 01.29 0 komentar


JEJAK LUKA
Oleh : Royhanatul Fauziah

Di suatu sore yang kemuning, cahaya matahari senja merambat masuk lewat kaca jendela yang sedikit berdebu itu. Suara lonceng terdengar berdenting-denting tertiup angin sore dari balik tirai merah yang sebagian menutupi kaca. kamar yang sepi, sesepi hati perempuan yang sedang asik sendiri di dalam kamarnya mengetik sajak-sajak cinta untuk seorang lelaki yang sudah setahun ini mengisi lembar-lembar buku hariannya, mengisi hidupnya.

Bahagia. Ya, itulah yang dulu dirasakan perempuan yang memiliki rambut bergelombang itu. bagaimana tidak, pacarnya yang selama ini mengisi hidupnya adalah seorang lelaki yang sangat berbeda. Dialah lelaki pertama yang menyentuh seluruh hati dan jiwanya, lelaki pertama yang membuat semua musim di hidupnya menjadi berwarna, berwarna seperti pelangi saat hujan reda di suatu pagi yang sejuk, lelaki yang telah mengenalkannya pada cinta yang murni, semurni embun di pagi hari, dan dialah lelaki yang telah mengenalkannya pada sajak. Sajak-sajak cinta yang kata-katanya terlahir dari tulisan para malaikat di surga.

Pernah suatu hari lelaki pujaan hatinya itu menuliskan seribu puisi cinta untuknya, puisi yang ditulis dari pena ketulusan diatas kertas putih yang suci. Kata-katanya begitu indah, hingga membuat perempuan itu merasa berharga dihadapannya. Bagaimana tidak, semua puisi itu berisi tentang cintanya terhadap si perempuan yang menurutnya telah membangkitkan kembali hatinya yang telah mati oleh mantan kekasihnya, tentang perempuan yang telah membuatnya tidak sehampa dulu saat ia masih sendiri, perempuan yang membuat lelaki itu mengucap maaf padahal sebenarnya lelaki itu bukan peminta maaf, dan puisi tentang perempuan yang telah membuatnya mengucap janji. Ya, dialah lelaki yang ia selalu sebut sebagai penyair.
Janji. Ya, semua janji yang selalu diucapkannya selalu teringat dalam benak perempuan itu. janji yang paling diingatnya adalah janji ketika penyair itu memberinya puisi dibawah pohon mangga di suatu musim semi. Daun-daun berguguran di hadapan mereka, tidak banyak kata yang terucap.

“Puisimu yang beribu itu bukan hanya tentangku, bukan? Sebelumnya kau telah menulis banyak puisi untuk perempuan-perempuan sebelum aku”.

“Puisi yang beribu itu tidak seberapa banyaknya, karena mulai saat ini bahkan mulai detik ini sampai aku tua dan mati nanti semua puisiku cintaku adalah tentang kamu, perempuanku.”
Bagi hati seorang perempuan kata-kata itu adalah janji yang terpatri, seperti tulisan yang terpahat di batu, abadi. Dan selalu diingatnnya.
Seringkali, di malam yang pekat, dingin, dan sepi ia selalu mengingat-ngingat lagi ucapan penyair itu tentang puisi yang mempesonakan hati perempuan itu. ia sering bertanya pada hatinya sendiri, benarkah apa yang telah diucapkannya.
“Hanya aku yang kan mengisi lembar-lembar sajak di kertasnya? Apakah hanya aku? Apakah kau tahu, aku begitu ingin kata-katamu itu adalah sajak yang menjelma menjadi harapan dan nyata adanya, bukan hanya mimpi indah yang dimana tiba-tiba aku terjaga di suatu malam keindahan itu pudar, pergi, hilang, tak bersisa. Ah, Bukankah penyair itu bebas? Bebas menulis apa saja yang ingin ditulisnya? Aku, cinta, harapan, luka, bahkan masa lalu? Semua itu adalah kehidupan yang wajar ditulis seorang penyair.”

Belakangan perempuan itu selalu membaca lagi sajak-sajak masa lalu penyair itu. Tak bisa ia pungkiri, kata-katanya begitu indah diucapkan oleh seorang penyair kepada perempuan yang pernah mengisi hatinya dulu. Bahkan perempuan itu merasa kata-kata itu indah melebihi keindahan sajak-sajaknya yang ditulis untuknya sendiri.
“Apakah aku hanya perempuan biasa, seperti perempuan-perempuan lain yang sering ia temui, dibuat sajak sederhana lalu dilupakan? Apakah aku tak seistimewa  kekasihnya yang dahulu?” itulah pertanyaan yang tak pernah ia sampaikan.

Bertahun-tahun dalam kebersamaan, puisi yang diberikan lelaki dibawah pohon mangga itu ternyata adalah puisi terakhir yang dibuatnya untuk perempuan yang dikenalnya lewat sahabatnya itu.

Penyair itu tak membuat sajak lagi. Entah apa yang membuatnya tak pernah menulis puisi lagi untuknya. Mungkin perempuan itulah penyebab ia berhenti menulis sajak. Yang jelas puisinya tak sebanyak dulu saat lelaki itu belum mengenalnya.
Janji? Ya, seperti tulisan yang terukir diatas pasir yang akhirnya terhapus angin, atau terkikis ombak. Hilang.

Di suatu malam yang kuyup dihujam air mata, ada ego yang tak terperi saat penyair 
dan perempuan itu merasa keyakinan cintanya diterpa badai. Seperti ulat katanya, yang menggerogoti daun-daun keyakinan. Saat itu juga penyair itu meminta kembali puisi yang pernah ia tulis untuk kekasihnya itu. perempuan itu diam dan tak mau mengembalikan puisi yang dicintainya itu. tapi amarah lebih cepat menguasai hati perempuan yang mencintai penyair itu. ia masuk kamar, mencari puisi yang disimpan dan dijaganya selama ini kemudian melemparkannya ke hadapan penyair itu.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, penyair itu langsung merobek sajak-sajak yang dulu dibuatnya dengan hati itu. untunglah robekan itu hanya terbagi empat. Dan saat penyair itu pergi, perempuan itu langsung memungutnya kembali dan menyatukan lagi kertas-kertas yang telah terpisah itu dengan selotip. Tulisannya masih bisa terbaca, sajaknya utuh. Tapi entahlah dengan makna sajak itu, apakah masih utuh juga?

Perempuan itu tak yakin, karena setelah kejadian di malam yang kuyup itu amarah dan ego yang tak teperi itu terulang lagi. Penyair itu meminta lagi sajak-sajaknya, dengan amarah yang lebih berapi. Perempuan itu mengulang hal yang sama pula, memberikan lagi sajak-sajak itu kepada si penyair karena amarah yang lagi tak bisa tertahan. Kali ini ia bukan hanya merobek sajak-sajak di kertas suci itu, tapi juga membakarnya, hingga menjadi debu, lebur, hilang, ditiup angin kesedihan.
Sajak terakhir yang berakhir tragis.
Janji itu kini seperti sajak di kertas yang menjadi debu setelah dibakar penulisnya sendiri.

Perempuan itu kini hanya berteman air mata, menulis sajak-sajak luka dalam buku hariannya.  Seorang diri. Perempuan itu terluka dan kalah.

Sabtu, 15 Juni 2013

KUMAKNAI ITU SENDIRI

Diposting oleh Catatan Angin di 03.35 0 komentar
kenanganmu yang seperti musim
aku tak pernah bosan memberinya nama, seperti puisi
kau terlalu puitis untuk kumengerti
mungkin terlalu salah untuk kumaknai sendiri setiap
kenangan-kenangan itu
tapi adakah aku di musimmu,
di hujanmu, di kemaraumu yang menggenang seluruh tawa
juga sepi yang sia-sia itu
malam ini aku lebih dari luka yang menderas 

diantara ribuan kenangan yang basah
dihujam hujanmu


Juni 2013

AKU NGIGAU, KATANYA

Diposting oleh Catatan Angin di 03.30 0 komentar
Di senyap malam yg ringkih
Sadarku jatuh ke dalam tidur panjang tanpa mimpi. Hampa.
Sedang orang-orang lalu lalang
sibuk merencanakan hari esok 

yang pasti kembali berakhir di tidur tanpa mimpi. Hampa.
Katanya, aku ngigau malam tadi
Menyebut namamu
Ah, namamu.

Mengapa harus namamu yg kusebut di tidur-tidurku yg
hampa.


Juni 2013
 

CATATAN ANGIN Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review