Minggu, 26 Maret 2023

GELISAH

Diposting oleh Catatan Angin di 12.25 0 komentar
GELISAH

Terkadang, jauh bukan lagi tentang jarak, tapi perasaan gelisah saat ia tidak ada.
Dekat, tak berarti kebersamaan dengan waktu selama mungkin. 
Hanya saja, waktu selalu cepat berlalu.  
Tidak, bukankah waktu selalu sama?
Atau, kita yang selalu terburu-buru? 
Kemudian yang kulihat lagi-lagi hanya punggung dan langkah kaki yang menjauh.

Garut, 2023

Senin, 20 Februari 2023

Hujan dan Pulang

Diposting oleh Catatan Angin di 04.08 0 komentar

Aku tak menginginkan teduh, aku lebih memilih hujan sebagai teman perjalanan, sehingga aku bisa menikmati rindu yang tersirat di dalamnya. Terlebih waktu yang melambat seolah menginginkanku menikmati dingin lebih lama. 

Tapi aku tidak pernah membenci hujan karenanya. Hanya saja, sepi selalu lebih dulu menguasai isi kepala meski berada diantara mereka yang ramai.  Sekali lagi, aku tak pernah membenci hujan, aku hanya seorang pejalan yang merindukan pulang.

Februari, 2023

Jumat, 10 Februari 2023

ISI KEPALA

Diposting oleh Catatan Angin di 15.35 0 komentar
dingin.
bukan lagi tentang cuaca,
hanya sunyi yang bahkan
seorangpun enggan tuk tinggal.

kosong. 
bukan hanya perihal tempat,
hanya ruang sepi
yang ramaipun tak kunjung mengerti.

diam.
bukan tentang suara,
hanya kekalutan yang hingar 
memekakan isi kepala.

Kerikil Perjalanan

Diposting oleh Catatan Angin di 06.11 0 komentar
Ketika kita pernah melewati jalan yang terjal dan penuh rintangan, seharusnya kerikil kecil tidak lagi menjadi halangan. 

Tapi kenapa saat kaki menginjak kerikil kecil itu, kita masih merasa sakit?

Kerikil kecil yang tidak ada habisnya, seolah setiap langkah terasa berat dan takut untuk menginjakkan kaki di jalan itu.

Kita memang tidak bisa menyapu setiap kerikil di jalan, mungkin saja kita membutuhkan alas kaki yang lebih kuat untuk melangkah. Tetapi saat kerikil itu lebih tajam menusuk, apa yang sebaiknya kita lakukan? Ini bukan tentang perjalanan terjal yang penuh rintangan, ini hanya tentang kerikil kecil yang sesekali menghentikan langkah..

Bukankah perjalanan itu sendiri tidak ada yang mudah?

Barangkali, kita hanya merasa sombong pada diri sendiri, bahwa kita lah manusia paling kuat yang bisa melewati jalan terjal yang penuh rintangan itu, menganggap sepele kerikil yang tidak ada apa-apanya. Padahal kita lupa bahwa kerikil kecil itulah perjalanan panjang yang sebenarnya. Rintangan yang tak akan ada habisnya, dimana dalam seriap langkah kita sendirilah yang harus menyeka lukanya.

Jurang di Masa Lalu

Diposting oleh Catatan Angin di 01.29 0 komentar
Seringkali aku berpikir, apa mungkin dengan menikah "lagi" hidup akan jauh lebih bahagia? 

Aku pernah menikah, dan aku tahu bagaimana perasaan tidak bahagia itu. Bukan hanya sekedar perasaan sedih. Tapi lebih dari itu, seperti perasaan ingin melompat dari tebing yang paling tinggi. Meski tebing itu indah, meski tidak ada orang yang berusaha mendorong kita, namun disana kamu selalu disuguhi oleh rasa takut dan tidak ada yang menjamin rasa aman sehingga lelah adalah akhir dan melompat ke jurang adalah satu-satunya jalan agar aku tidak lagi dalam ketakutan itu. Tak peduli aku akan mati, atau menemukan sesuatu yang lebih mengerikan di disana namun jurang adalah satu-satunya tempat yang harus aku tuju. Pada akhirnya, aku melompat ke jurang itu bersama anakku.

Selama itu aku tidak pernah tahu, bagaimana perasaan bahagia? Karena setelah aku melompat ke jurang, aku tetap merasa tidak aman. Bagaimana dengan anakku kelak? Hanya diri sendiri yang mampu menjamin rasa aman itu. Tetapi dibalik itu, aku memiliki perasaan tenang, karena aku tidak lagi mengganguntungkan hidupku kepada seseorang. Jadi aku mulai berpikir, "Oh, aku tidak bahagia karena aku berharap dia memberiku lebih", "Oh, aku tidak bahagia karena aku berharap dia yang menjamin hidupku", "Oh, aku tidak bahagia karena seharusnya dialah yang membahagiakan aku". Saat itu aku merasa bahwa bahagia adalah ketika kita tidak berharap pada siapa-siapa. Tetapi dalam rumah tangga, bukankah wajar seorang perempuan menggantungkan kebahagiaannya pada suami? 

KESEDIHAN TERBESARku adalah ketika aku harus meninggalkan anakku yang masih merah, dia belum genap 2 bulan. Tapi aku harus bekerja. KENAPA? KENAPA hidupku dulu begitu?  Aku adalah anak yang dititpkan di orang lain dan aku tidak ingin meninggalkan anakku seperti orangtuaku meninggalkanku dulu. Anak pertamaku, dia masih bayi, aku meninggalkanmu demi bisa menghidupimu. Kenapa aku tidak seperti wanita lain yang dibiarkan mengurus rumah tangga dan fokus mendidik anak-anak? Aku pun ingin hidup seperti itu. Bahkan di jurang itu, aku masih berjuang sendiri untuk anakku. Bekerja sampai malam meninggalkan anakku. Aku selalu menyesali semuanya, jika aku bahagia dalam pernikahan sebelumnya, aku tidak harus bekerja dan meninggalkan anakku untuk menghidupi diriku sendiri. Tapi apa bedanya, di tebing itupun aku tetap berjuang menghidupi diri sendiri dan anakku. 

Sepanjang menyusuri jurang itu dengan sisa-sia luka, aku masih sanggup membahagiakan diriku sendiri. Hidup berdua dengan anakku. Hingga akhirnya aku melakukan kesalahan pertamaku. Apa itu? AKU BERHARAP LAGI. Aku berharap ada seseorang yang akan menolongku dan menjamin kebahagiaanku. Maka, ketika orang-orang datang menawarkan tangannya, bahunya, hartanya, aku merasa "inikah rasanya dijanjikan rasa aman itu?" Sepertinya aku memang perempuan lemah yang selalu ingin menggantungkan kebahagiaan kepada seseorang. Aku hanya ingin seperti perempuan lain yang dijadikan ratu dalam singgasana rumah tangganya. Namun lagi-lagi aku berpikir, seorang ratu tidak akan pernah selemah itu sehingga memilih lompat ke jurang. Mungkin ia akan mempertahankan harga dirinya untuk tidak menjadi janda dan tidak nekat membawa anaknya dalam penderitaan.

Kemudian aku tejatuh dalam pelukan seorang laki-laki yang menjanjikanku "bahagia". Perempuan paling bahagia yang selama ini aku inginkan.

Apa itu bahagia? Aku tidak tahu.

Apakah menikah lagi membuat hidup lebih bahagia? Iya. Pernikahan yang sekarang tidak membuatku ingin lompat ke jurang meski sesekali aku menangis karena pikiranku sendiri. Karena dengan menikah, lagi-lagi aku memiliki perasaan berharap pada seseorang. Sehingga ketika harapan itu tidak sesuai, entah apa yang aku rasakan sehingga membuatku ingin menangis. Seharusnya manusia memang tidak boleh menggantungkan hidup pada manusia lain. Tetapi menggantungkan kebahagiaan pada suami bukan suatu kesalahan. Meski setelah menikahpun, hidupku tidak banyak berubah. Aku masih berstatus ibu yang bekerja. Jadi aku tidak sepenuhnya menggantungkan hidupku. Seringkali aku dianggap mandiri, tetap saja aku tidak ingin menjadi mandiri. Meskipun aku bisa untuk tidak bergantung, tetap saja aku ingin bergantung pada seseorang. Meskipun aku bisa membahagiakan diri sendiri tetap saja aku ingin dibahagiakan. Aku hanya ingin dibahagiakan. Itu saja.

Tulisan ini intinya apa? Jika ingin bahagia, jangan menggantungkan hidup pada orang lain termasuk suami sendiri karena kau akan kecewa ketika tidak sesuai harapan. Tapi meski aku tahu itu dan aku bisa membahagiakan diriku sendiri, aku tetap ingin menggantungkan kebahagiaanku pada suami dalam hal apapun. Karena bagiku membahagiakan diri sendiri dengan dibahagiakan rasanya berbeda. 

Tulisan ini memang ditulis oleh orang yang egois yang hanya mementingkan kebahagiaan pribadi sedangkan dia tidak tahu apakah pasangannya juga bahagia atau tidak? Bahkan mungkin penulis tidak tahu cara membahagiakan. Meskipun tahu pun belum tentu penulis ingin melakukannya. Karena yang dipikirkannya adalah kebahagiaannya sendiri karena masa lalunya yang tidak bahagia.

Egois memang tapi apakah ini resiko menikahi seseorang pernah tidak bahagia dalam pernikahannya? Mungkin iya. Tapi lebih tepatnya, ini resiko karena menikahi kerumitan seorang penulis yang pernah melompat ke jurang.

Senin, 26 September 2022

BUKAN PELARIAN

Diposting oleh Catatan Angin di 05.37 0 komentar
Dulu sering main piano karena merasa banyak hal yang harus disembuhkan, dan ingin mengalihkannya ke banyak hobi yang entah dari mana datangnya. 

Seketika saja ingin, seketika bisa, kemudian lupa dan tidak ingin bermain lagi.

Mungkin merasa sudah sembuh? Sehingga, segala macam pelarian tidak diperlukan lagi.

Apa benar seseorang bisa benar-benar sembuh? Atau hanya lupa bagaimana rasanya sakit?

Yang kutahu, ada satu hal yang bukan pelarian meski datang disaat sedang ingin disembuhkan. Itu sebabnya ia masih ada dan membuatku lupa apa itu sakit karena cintanya lebih besar dari rasa sakit itu.

Mungkin sekarang sebaliknya, malah aku yang menularkan rasa sakit itu, padahal aku tahu dia berbeda. Padahal aku tahu dia juga pernah terluka.

Maaf, mungkin aku memang belum benar-benar sembuh, itu sebabnya sikapku selalu tiba-tiba berubah. 

Aku takut terulang luka yang sama. 

Jumat, 26 Agustus 2022

Denganmu

Diposting oleh Catatan Angin di 08.58 0 komentar
Pertemuan selalu menyisakan rindu yang lebih dalam, namun masih ada petang yang menunggu untuk berbagi cerita dan kabar, atau sekedar mengisi kekosongan dan isi perut yang seringkali sengaja kita lewatkan.

Pertemuan selalu menyenangkan 
meski rasanya masih sedikit kita mengukir kenangan.
Sudah berapa tempat yang kita kunjungi?
Sudah berapa lama waktu yang kita habiskan bersama?

Kamu alasan kedua mengapa aku ingin hidup lebih lama.
Denganmu,  aku ingin mengukir kenangan lebih banyak lagi. 
Denganmu, aku ingin mengunjungi tempat lebih banyak lagi. 
Denganmu, aku ingin memasak lebih banyak makanan lagi. 
Denganmu, aku ingin menonton film lebih banyak lagi.
Denganmu, aku ingin berbicara tentang banyak hal lagi.
Denganmu, aku ingin cemberut, marah-marah, tertawa, dan bahagia lebih lama lagi.
Denganmu, dan hanya denganmu semua itu ingin kulewati.

Itu sebabnya, jangan tinggalkan aku, aku belum--- atau bahkan tidak siap jika kamu tidak ada.



Sebelum Fajar Menjemput

Diposting oleh Catatan Angin di 08.56 0 komentar
Malamku tak pernah luput dari ingatan, 
kudengar sayup suara yang memanggilku dari kejauhan.

"Aku rindu", ucapnya lirih.

Ku katakan, "Temui aku sebelum fajar. Sebelum mimpi menjemputmu dari hingar bingar kota dan ocehan orang-orang yang seringkali meresahkanmu".


Senin, 15 Agustus 2022

PERJALANAN

Diposting oleh Catatan Angin di 07.49 0 komentar
Takdir hidup tidak ada yang tahu...
Aku dilahirkan dimana oleh siapa...
Dibesarkan dimana oleh siapa...
Mungkin aku juga akan mati dimana dan entah dengan siapa...

Dulu selalu bertanya, "kenapa harus aku?"
Sampai saat ini aku belum menemukan jawaban, tetapi satu hal yang aku yakini, bahwa takdir tidak pernah salah.

Bukankah di dalam kandungan kita sudah diperlihatkan perjalanan hidup, dan kita menyanggupinya itu sebabnya kita dilahirkan?

Aku memang sudah digariskan ke tempat yang semestinya, ke tempat dimana aku dilahirkan kemudian dibesarkan di tempat yang berbeda, takdir itu yang membawaku bertemu dengan berbagai manusia yang menjadi sahabat, guru, dosen, mantan, orang tersayang, keluarga dan saudara.

Karena dilahirkan dan dibesarkan di tempat yang berbeda, terkadang aku merasa asing, seperti bukan bagian dari siapapun. Aku selalu bertanya, apakah mereka juga menganggapku keluarga?

Tapi aku tidak pernah sekalipun menyesali semuanya. 
Perjalanan hidup ini, akan aku syukuri.
DILAHIRKAN ke dunia dan DIPERTEMUAN dengan semua yang kukenal dan kusayangi adalah anugerah dalam hidupku.

Kamis, 30 Juni 2022

SUATU MALAM KAU BERTANYA, "APAKAH KAU TAKUT KEHILANGANKU?"

Diposting oleh Catatan Angin di 05.17 0 komentar

SUATU MALAM KAU BERTANYA, "APAKAH KAU TAKUT KEHILANGANKU?"

Hanya diam dan sebuah senyuman jawabku malam itu. Namun yang sebenarnya ada di kepalaku adalah ini;

Bukan aku tidak takut kehilanganmu, hanya saja aku tidak ingin lagi memikirkan tentang memiliki dan kehilangan. Aku percaya kamu akan tetap tinggal dan aku bahagia karenanya, begitupun jika sesuatu membuatku kehilanganmu, mungkin aku akan bersedih. Namun aku akan cepat mengerti bahwa memiliki dan kehilangan hanya perjalanan yang semua orang akan lalui, hanya waktu dan caranya saja yang berbeda.

Jika kamu memilih untuk tetap tinggal denganku dan segala kekuranganku, yang kubisa hanyalah berterima kasih dan entah dengan apa aku bisa membalasnya. Mencintaimu saja tidak cukup, sebab kamu sudah mencintaiku lebih dari apapun, lebih dari semua yang bisa ku lakukan.

Tapi jika aku benar-benar kehilanganmu, sedihku takkan berarti apa-apa dibanding perasaan bahagia karena dicintai olehmu sebelumnya, dan aku akan tetap mengingatmu sebagai kenangan dan lelaki terbaik yang pernah ada. Itu sebabnya aku tidak lagi memikirkan tentang kehilangan, karena setelahnya tidak ada perasaan yang berbeda. Kamu tetap dalam ingatan, hanya tidak lagi bersama. Perasaan yang mungkin tidak akan pernah kamu ingin rasakan. Sebab bagimu, kehilangan sama dengan pergi dan melupakan untuk selamanya.

Aku merasa perlu menulis ini, kita tidak pernah tahu kemana takdir akan membawa kita. Bersama sampai maut memisahkan adalah keinginan setiap pasangan kekasih. Namun jika kehilangan adalah sebuah keharusan, aku tidak mungkin memintamu untuk tidak membenciku apalagi mengenangku sebagai perempuan terbaik, sebab yang terbaik bukanlah aku. Aku hanya berharap kelak kamu menyisakan dua ruang saja di hatimu untukku dan Pram sebagai dua manusia yang pernah kau cintai.


30.06.2022

 

CATATAN ANGIN Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review