JEJAK LUKA
Oleh : Royhanatul Fauziah
Di suatu sore yang kemuning, cahaya matahari senja merambat
masuk lewat kaca jendela yang sedikit berdebu itu. Suara lonceng terdengar
berdenting-denting tertiup angin sore dari balik tirai merah yang sebagian
menutupi kaca. kamar yang sepi, sesepi hati perempuan yang sedang asik sendiri
di dalam kamarnya mengetik sajak-sajak cinta untuk seorang lelaki yang sudah setahun
ini mengisi lembar-lembar buku hariannya, mengisi hidupnya.
Bahagia. Ya, itulah yang dulu dirasakan perempuan yang
memiliki rambut bergelombang itu. bagaimana tidak, pacarnya yang selama ini
mengisi hidupnya adalah seorang lelaki yang sangat berbeda. Dialah lelaki
pertama yang menyentuh seluruh hati dan jiwanya, lelaki pertama yang membuat
semua musim di hidupnya menjadi berwarna, berwarna seperti pelangi saat hujan
reda di suatu pagi yang sejuk, lelaki yang telah mengenalkannya pada cinta yang
murni, semurni embun di pagi hari, dan dialah lelaki yang telah mengenalkannya
pada sajak. Sajak-sajak cinta yang kata-katanya terlahir dari tulisan para
malaikat di surga.
Pernah suatu hari lelaki pujaan hatinya itu menuliskan
seribu puisi cinta untuknya, puisi yang ditulis dari pena ketulusan diatas
kertas putih yang suci. Kata-katanya begitu indah, hingga membuat perempuan itu
merasa berharga dihadapannya. Bagaimana tidak, semua puisi itu berisi tentang
cintanya terhadap si perempuan yang menurutnya telah membangkitkan kembali
hatinya yang telah mati oleh mantan kekasihnya, tentang perempuan yang telah
membuatnya tidak sehampa dulu saat ia masih sendiri, perempuan yang membuat
lelaki itu mengucap maaf padahal sebenarnya lelaki itu bukan peminta maaf, dan
puisi tentang perempuan yang telah membuatnya mengucap janji. Ya, dialah lelaki
yang ia selalu sebut sebagai penyair.
Janji. Ya, semua janji yang selalu diucapkannya selalu
teringat dalam benak perempuan itu. janji yang paling diingatnya adalah janji
ketika penyair itu memberinya puisi dibawah pohon mangga di suatu musim semi.
Daun-daun berguguran di hadapan mereka, tidak banyak kata yang terucap.
“Puisimu yang beribu itu bukan hanya tentangku, bukan?
Sebelumnya kau telah menulis banyak puisi untuk perempuan-perempuan sebelum
aku”.
“Puisi yang beribu itu tidak seberapa banyaknya, karena
mulai saat ini bahkan mulai detik ini sampai aku tua dan mati nanti semua
puisiku cintaku adalah tentang kamu, perempuanku.”
Bagi hati seorang perempuan kata-kata itu adalah janji yang
terpatri, seperti tulisan yang terpahat di batu, abadi. Dan selalu diingatnnya.
Seringkali, di malam yang pekat, dingin, dan sepi ia selalu
mengingat-ngingat lagi ucapan penyair itu tentang puisi yang mempesonakan hati
perempuan itu. ia sering bertanya pada hatinya sendiri, benarkah apa yang telah
diucapkannya.
“Hanya aku yang kan mengisi lembar-lembar sajak di
kertasnya? Apakah hanya aku? Apakah kau tahu, aku begitu ingin kata-katamu itu
adalah sajak yang menjelma menjadi harapan dan nyata adanya, bukan hanya mimpi
indah yang dimana tiba-tiba aku terjaga di suatu malam keindahan itu pudar,
pergi, hilang, tak bersisa. Ah, Bukankah penyair itu bebas? Bebas menulis apa
saja yang ingin ditulisnya? Aku, cinta, harapan, luka, bahkan masa lalu? Semua
itu adalah kehidupan yang wajar ditulis seorang penyair.”
Belakangan perempuan itu selalu membaca lagi sajak-sajak
masa lalu penyair itu. Tak bisa ia pungkiri, kata-katanya begitu indah
diucapkan oleh seorang penyair kepada perempuan yang pernah mengisi hatinya
dulu. Bahkan perempuan itu merasa kata-kata itu indah melebihi keindahan sajak-sajaknya
yang ditulis untuknya sendiri.
“Apakah aku hanya perempuan biasa, seperti
perempuan-perempuan lain yang sering ia temui, dibuat sajak sederhana lalu
dilupakan? Apakah aku tak seistimewa
kekasihnya yang dahulu?” itulah pertanyaan yang tak pernah ia sampaikan.
Bertahun-tahun dalam kebersamaan, puisi yang diberikan
lelaki dibawah pohon mangga itu ternyata adalah puisi terakhir yang dibuatnya
untuk perempuan yang dikenalnya lewat sahabatnya itu.
Penyair itu tak membuat sajak lagi. Entah apa yang
membuatnya tak pernah menulis puisi lagi untuknya. Mungkin perempuan itulah
penyebab ia berhenti menulis sajak. Yang jelas puisinya tak sebanyak dulu saat
lelaki itu belum mengenalnya.
Janji? Ya, seperti tulisan yang terukir diatas pasir yang akhirnya
terhapus angin, atau terkikis ombak. Hilang.
Di suatu malam yang kuyup dihujam air mata, ada ego yang tak
terperi saat penyair
dan perempuan itu merasa keyakinan cintanya diterpa badai.
Seperti ulat katanya, yang menggerogoti daun-daun keyakinan. Saat itu juga penyair
itu meminta kembali puisi yang pernah ia tulis untuk kekasihnya itu. perempuan
itu diam dan tak mau mengembalikan puisi yang dicintainya itu. tapi amarah
lebih cepat menguasai hati perempuan yang mencintai penyair itu. ia masuk
kamar, mencari puisi yang disimpan dan dijaganya selama ini kemudian
melemparkannya ke hadapan penyair itu.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, penyair itu langsung
merobek sajak-sajak yang dulu dibuatnya dengan hati itu. untunglah robekan itu
hanya terbagi empat. Dan saat penyair itu pergi, perempuan itu langsung
memungutnya kembali dan menyatukan lagi kertas-kertas yang telah terpisah itu
dengan selotip. Tulisannya masih bisa terbaca, sajaknya utuh. Tapi entahlah
dengan makna sajak itu, apakah masih utuh juga?
Perempuan itu tak yakin, karena setelah kejadian di malam
yang kuyup itu amarah dan ego yang tak teperi itu terulang lagi. Penyair itu meminta
lagi sajak-sajaknya, dengan amarah yang lebih berapi. Perempuan itu mengulang
hal yang sama pula, memberikan lagi sajak-sajak itu kepada si penyair karena
amarah yang lagi tak bisa tertahan. Kali ini ia bukan hanya merobek sajak-sajak
di kertas suci itu, tapi juga membakarnya, hingga menjadi debu, lebur, hilang,
ditiup angin kesedihan.
Sajak terakhir yang berakhir tragis.
Janji itu kini seperti sajak di kertas yang menjadi debu
setelah dibakar penulisnya sendiri.
Perempuan itu kini hanya berteman air mata, menulis
sajak-sajak luka dalam buku hariannya.
Seorang diri. Perempuan itu terluka dan kalah.